Kamis, 23 Mei 2013

Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak, dari sini mulai perjalananku

Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak, lokasinya berada di kampung Krapyak Kulon, desa Panggungharjo, kecamatan Sewon, Bantul Yogyakarta.

PP Al-Munawwir Krapyak Jogjakarta didirikan oleh beliau Simbah KH. M, Moenauwir tepatnya pada tanggal 15 november 1919 M. Pada mulanya pondok pesantren ini dikenal dengan Pondok Pesantren Krapyak, karena lokasinya memang terletak di Dusun Krapyak Kulon dulu di wilayah Kelurahan Krapyak. Kemudian Simbah Munawwir nama Pondok tersebut ditambahi dengan nama beliau Al-Munawwir sehingga lengkaplah namanya menjadi  Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Tambahan nama Al-Munawwir ini bertujuan untuk mengenang pendirinya yaitu KH. M. Moenauwir. Pondok ini juga dikenal sebagai pondok pesantren Al-Qur’an karena pada awalnya dulu bidang pendidikan utama yang diajarkan disini adalah menghafal Al Qur'an sesuai dengan bidang keahlian beliau yang sangat mumpuni dan ahli di bidang hafalan Al Qur’an.  Ini kemudian menjadi ciri khusus PP AL-Munawwir Krapyak Jogjakarta.

Sepeninggal beliau PP Al Munawwir dilanjutkan oleh anak cucu dan menantu beliau, bidang pelajaranpun menjadi lebih lengkap, termasuk mempelajari berbagai kitab kuning. Sebagian masyarakat sekitar termasuk keluargaku juga ikut sedikit atau banyak belajar agama Islam di pondok pesantren. Alhamdulillah dari sini aku sempat belajar membaca Al Quraan dan sedikit pelajaran yang lainnya.

Ketika aku (Kang Hasan : penulis) kecil dulu aku ikut orang tuaku yang tinggal di lingkungan kampung krapyak yang bertetangga dengan Pondok Krapyak. Saat itu PP Al Munawwir dipimpin oleh Simbah KH Ali Maksum menantu KH Munawwir. Aku pagi hari sekolah di sekolah dasar (SD) dan sore hari mengikuti pendidikan di Madrasah Diniyyah sore hari.

Suatu hari ayahku memperkenalkan aku dengan seorang tokoh masyarakat di kampung Krapyak, beliau ini adalah seorang guru mursid dari aliran thoriqoh naqsabandiyah. Singkat cerita  beliau bermaksud mengangkatku sebagai murid akupun menyetujuinya. Mulailah aku belajar amalan-amalan tapi kukira memang belum masuk ke ilmu thoriqohnya, barangkali beliau menilai aku masih terlalu kecil. Tapi beliau mengajariku amalan-amalan terkait ayat kursi.

Aku diajari membaca bagian ayat kursi (dibagi menjadi 7 bagian). Bagian pertama sampai kata "sinatun wala naum" dibaca 313 kali selama 3 hari dengan menjalankan puasa putih (tidak makan garam). Terus berikutnya berturut turut bagian-baian yang lainnya dari ayat kursi dengan jumlah hitungan yang berbeda-beda dan dengn cara puasa yang bervariasi (puasa ngrowot : tidak makan nasi tapi boleh makan umbi-umbian) sampai puncaknya membaca ayat kursi 1000 kali sekali duduk selama 40 hari dengan dibarengi puasa mutih.

Diceritakan bahwa dulu ketika Sang Guru melakukan amalan sebagaimana yang aku amalkan ini maka beliau menemui berbagai keanehan dan keluarbiasaan. Tapi anehnya kalau aku setelah mengamalknnya

Kini Alhamdulillah aku telah berlepas diri dari amalan-amalan yang tidak ada tuntunannya dari Allah dan Rasulnya ini. Semoga Allah meneguhkan aku diatas jalanNya.


AJARAN-AJARAN MADZHAB SYAFI'I YANG DITINGGALKAN OLEH SEBAGIAN PENGIKUTNYA 3 - CADAR

Kalau kita buka Kitab Tafsir AlQuran Jalalain akan kita dapati beliau berpendapat bahwa wanita mesti menutup seluruh tubuhnya kecuali satu mata saja yang boleh dibuka.  Kitab ini pula yang tiap hari dipelajari di Pondok Pesantren Krapyak. Bagaimana pengalamalan kita? Marilah kita cocokkan pengamalan kita dengan ilmu yang telah kita pelajari.
Jangan sampai berlaku pepatah kata "gedang awoh pakel" dan 'jarkoni" pada diri kita. Ayo bangkit.


KETIGA : CADAR

          Memang aneh…sebagian orang memandang miring terhadap cadar…, sementara sebagian yang lain dengan bangganya berkata, "Jika ada sejuta Lady Gaga yang datang ke tanah air maka tidak akan mengurangi keimanan kami ??!!". Lady Gaga datang sejuta kali ke Indonesia tidak akan mengurangi keimanan warga kita…!!!. (lihat https://www.youtube.com/watch?v=pnC4ZKAMEQQ)

Sebagian lagi menganggap tarian goyang inul sebagai sesuatu yang biasa yang tidak perlu diingkari, goyangan inul merupakan bentuk kebebasan berekspresi !!!. (lihat : http://www.merdeka.com/peristiwa/dulu-bikin-inul-menangis-kini-giliran-rhoma-sesenggukan.html).

Kalau sebagian orang tersebut dari kalangan awam, mungkin masih bisa dimaklumi.., akan tetapi jika pernyataan-pernyataan tersebut muncul dari kiyai…maka…mau dikemanakan moral bangsa kita ini !!??

Tidakkah diketahui bahwa di tanah air kita telah terjadi perbuatan mesum di bawah umur??, anak-anak remaja SMP, bahkan SD !!!, lantas bagaimana bisa terucap bahwa sejuta Lady Gaga tidak akan mempengaruhi keimanan.., bahkan jika lady Gaga datang sejuta kali ke tanah air ???

Maka sungguh aneh…jika ada yang membela inul…dan ada yang memandang miring cadar??!!

Ternyata pendapat yang menjadi patokan dalam madzhab syafi'i adalah wajah wanita merupakan aurot sehingga wajib untuk ditutupi !!! wajib untuk bercadar !!!

          Meskipun tentunya permasalahan cadar adalah permasalahan khilafiyah dikalangan para ulama, akan tetapi perlu diingat bahwasanya para ulama telah sepakat bahwa memakai cadar hukumnya disyari'atkan, dan minimal adalah mustahab/sunnah. Mereka hanyalah khilaf tentang kewajiban bercadar.

Sebelum saya nukilkan perkataan para ulama syafi'iyah tentang permasalahan ini, ada baiknya kita telaah terlebih dahulu dalil-dalil yang menunjukkan akan disyari'atkannya bercadar bagi wanita.



DALIL DISYARI'TAKANNYA CADAR

Pertama : Para ulama sepakat bahwasanya wajib bagi istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menutup wajah dan kedua telapak tangan mereka.

Al-Qoodhy 'Iyaadh rahimahullah berkata

فهو فرض عليهن بلا خلاف في الوجه والكفين فلا يجوز لهن كشف ذلك

"Berhijab diwajibkan atas mereka (para istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) pada wajah dan kedua telapak tangan –tanpa ada khilaf (di kalangan ulama)- maka tidak boleh bagi mereka membuka wajah dan kedua telapak tangan mereka" (sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 8/391)

Maka seluruh ulama –termasuk para ulama yang memandang tidak wajibnya menutup wajah dan kedua telapak tangan- juga sepakat bahwa untuk para istri Nabi wajib bagi mereka menutup wajah dan kedua telapak tangan.

Allah berfirman 

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ

"Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka" (Al-Ahzaab : 53)

Ayat ini disepakati oleh para ulama bahwa ia menunjukkan akan wajibnya hijab dan menutup wajah, hanya saja para ulama yang membolehkan membuka wajah berpendapat bahwa ayat ini khusus untuk para istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Akan tetapi pengkhususan tersebut terhadap para istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam saja kurang tepat, ditinjau dari beberapa alasan :

-         Yang menjadi patokan adalah keumuman lafal bukan kekhususan sebab. Meskipun sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan istri-istri Nabi akan tetapi lafalnya umum mencakup seluruh kaum mukminat

-         Para istri Nabi lebih suci hati mereka dan lebih agung di hati kaum mukminin, selain itu mereka adalah ibu-ibu kaum mukminin, serta haram untuk dinikahi setelah wafatnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Meskipun demikian mereka tetap diperintahkan untuk berhijab dan menutup wajah mereka. Maka para wanita kaum mukminat lebih utama untuk menutup wajah mereka

-         Allah menjadikan hikmah dari hijab dalam ayat ini adalah ((cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka)), padahal yang membutuhkan kesucian hati bukan hanya istri-istri Nabi, akan tetapi demikian juga seluruh kaum mukminat.

-         Ayat selanjutnya setelah ayat ini adalah firman Allah

لا جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِي آبَائِهِنَّ وَلا أَبْنَائِهِنَّ وَلا إِخْوَانِهِنَّ وَلا أَبْنَاءِ إِخْوَانِهِنَّ وَلا أَبْنَاءِ أَخَوَاتِهِنَّ وَلا نِسَائِهِنَّ وَلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ وَاتَّقِينَ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا (٥٥)

"Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan yang beriman dan hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu (hai isteri-isteri Nabi) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha menyaksikan segala sesuatu" (Al-AHzaab : 55)

Tentunya kita tahu bahwasanya meskipun yang disebut dalam ayat ini adalah istri-istri Nabi akan tetapi hukumnya mencakup dan berlaku bagi seluruh kaum mukminat tanpa ada khilaf dikalangan para ulama.



Kedua : Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Barang siapa yang menggeret pakaiannya (isbal) karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat"

Maka Ummu Salamah berkata : فكيف يصنع النساء بذيولهن؟ "Apa yang harus dilakukan para wanita dengan ekor-ekor rok mereka (yang terseret-seret di tanah-pen)?"

Nabi berkata : يُرْخِيْنَ شِبْرًا "Hendaknya mereka para wanita menjulurkan rok mereka hingga sejengkal"

Ummu Salamah berkata, إذاً تنكشف أقدامهن "Kalau hanya sejengkal maka akan tersingkaplah kaki-kaki mereka"

Nabi berkata, فيرخينه ذراعاً لا يزدن عليه "Mereka menjulurkan hingga sedepa, dan hendaknya tidak lebih dari itu" (HR At-Thirmidzi no 1731 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Hadits ini menunjukkan bahwa merupakan perkara yang diketahui oleh para wanita di zaman Nabi bahwa kaki adalah aurot sehingga mereka berusaha untuk menutupinya bahkan meskipun dengan isbal (menjulurkan kain rok hingga tergeret di tanah). Jika kaki –yang kurang menimbulkan fitnah- saja wajib untuk ditutup maka bagaimana lagi dengan wajah yang merupakan pusat dan puncak kecantikan seorang wanita ??!!.



Ketiga : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لا تباشر المرأة المرأة، فتنعتها لزوجها كأنه ينظر إليها

"Janganlah seorang wanita menemui seorang wanita yang lain lalu setelah itu menyebutkan sifat-sifat wanita tersebut kepada suaminya, sehingga seakan-akan sang suami melihat wanita tersebut" (HR Al-Bukhari)

Sabda Nabi "Seakan-akan sang suami melihat wanita tersebut" merupakan dalil bahwasanya para wanita dahulu menutup wajah-wajah mereka. Jika wajah-wajah mereka terbuka wajahnya maka para lelaki tidak butuh untuk dibantu oleh seorang wanita untuk menceritakan sifat kecantikan para wanita karena para lelaki bisa melihat langsung.



Keempat : Hadits-hadits yang banyak yang menunjukkan disyari'atkanya seorang lelaki untuk nadzor (melihat wanita) yang hendak dilamarnya atau dinikahinya. Diantara hadits tersebut adalah : Dari Al-Mughiroh bin Syu'bah ia berkata :

أتيت النبي صلى الله عليه وسلم فذكرت له امرأة أخطبها. قال: "اذهب فَانْظُرْ إِلَيْهَا؛ فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ يُؤْدِمَ بَيْنَكُمَا". قال: فأتيت امرأة من الأنصار فخطبتها إلى أبويها وأخبرتهما بقول النبي صلى الله عليه وسلم. فكأنهما كرها ذلك. قال: فسمعتْ ذلك المرأة وهي في خدرها فقالت: إن كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أمرك أن تنظر فانظر، وإلا فأنشدك. كأنها أعظمت ذلك. قال: فنظرت إليها، فتزوجتها

"Aku mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu aku menyebutkan tentang seorang wanita yang aku lamar. Maka Nabi berkata, اذهب فَانْظُرْ إِلَيْهَا؛ فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ يُؤْدِمَ بَيْنَكُمَا "Pergilah dan lihatlah wanita tersebut, sesungguhnya hal itu lebih melanggengkan antara kalian berdua".

Maka akupun menemui wanita dari kaum Anshor tersebut lalu aku melamarnya melalui kedua orang tuanya dan aku kabarkan kepada kedua orang tuanya tentang perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka seakan-akan keduanya tidak suka akan hal itu. Lalu sang wanita mendengar percakapan kami –sementara ia di dalam pingitannya dalam rumah- lalu sang wanita berkata, "Kalau Rasulullah memerintahkan engkau untuk melihat maka lihatlah !, jika tidak maka aku memintamu untuk melihatku". Seakan-akan sang wanita mengagungkan perkataan Nabi. Lalu akupun melihatnya dan menikahinya"

Hadits ini merupakan dalil bahwasanya para wanita mereka berhijab dan menutup wajah-wajah mereka, karenanya seorang lelaki tidak mampu untuk melihat wajah mereka kecuali jika ingin melamar. Kalau para wanita telah terbuka wajah-wajah mereka maka tidak perlu seorang lelaki meminta izin kedua orang tuanya untuk melihat !!


Inilah dalil-dalil yang menunjukkan disyari'atkannya bercadar untuk menutup wajah wanita, bahkan sebagian dalil di atas menunjukkan akan wajibnya hal ini. Akan tetapi pembahasan kita kali ini bukan dalam rangka menguatkan pendapat yang mewajibkan, akan tetapi dalam rangka menjelaskan akan disyari'atkannya bercadar. Toh sebagian ulama hanya memandang disyari'atkannya namun tidak wajib. Diantara mereka adalah Syaikh Al-Albani (meskipun istri-istri beliau bercadar) akan tetapi beliau tidak memandang wajibnya cadar, sebagaimana beliau telah memaparkan dalil-dalil beliau dalam kitab beliau "Jilbaab al-Mar'ah Al-Muslimah" dan juga kitab "Ar-Rod Al-Mufhim".


CADAR WAJIB MENURUT MADZHAB SYAFI'I

          Yang anehnya ternyata pendapat yang menjadi patokan dalam madzhab Syafi'iyah adalah wajibnya menutup wajah, bukan hanya disunnahkan !!. Akan tetapi pendapat ini serasa asing dan aneh di tanah air kita yang notabene sebagian besar kita menganut madzhab syafi'i.

Sebelumnya penulis tidak menemukan perkataan Imam Syafi'i yang tegas dalam mewajibkan cadar, yang penulis dapatkan dalam kitab Al-Umm adalah hanyalah isyarat yang tidak tegas.

Imam Syafi'i berkata :

وَتُفَارِقُ الْمَرْأَةُ الرَّجُلَ فَيَكُونُ إحْرَامُهَا في وَجْهِهَا وَإِحْرَامُ الرَّجُلِ في رَأْسِهِ فَيَكُون لِلرَّجُلِ تَغْطِيَةُ وَجْهِهِ كُلِّهِ من غَيْرِ ضَرُورَةٍ وَلَا يَكُونُ ذلك لِلْمَرْأَةِ وَيَكُونُ لِلْمَرْأَةِ إذَا كانت بَارِزَةً تُرِيدُ السِّتْرَ من الناس أَنْ ترخى جِلْبَابَهَا أو بَعْضَ خِمَارِهَا أو غير ذلك من ثِيَابِهَا من فَوْقِ رَأْسِهَا وَتُجَافِيهِ عن وَجْهِهَا حتى تُغَطِّيَ وَجْهَهَا مُتَجَافِيًا كَالسَّتْرِ على وَجْهِهَا وَلَا يَكُونُ لها أَنْ تَنْتَقِبَ

"Dan wanita berbeda dengan lelaki (dalam pakaian ihram-pen), maka wanita ihromnya di wajahnya adapun lelaki ihromnya di kepalanya. Maka lelaki boleh untuk menutup seluruh wajahnya tanpa harus dalam kondisi darurat, hal ini tidak boleh bagi wanita. Dan wanita jika ia nampak (diantara para lelaki ajnabi-pen) dan ia ingin untuk sitr (tertutup/berhijab) dari manusia maka boleh baginya untuk menguraikan/menjulurkan jilbabnya atau sebagian kerudungnya atau yang selainnya dari pakaiannya, untuk dijulurkan dari atas kepalanya dan ia merenggangkannya dari wajahnya sehingga ia bisa menutup wajahnya akan tetapi tetap renggang kain dari wajahnya, sehingga hal ini seperti penutup bagi wajahnya, dan tidak boleh baginya untuk menggunakan niqoob" (Al-Umm 2/148-149)

Beliau juga berkata :

وَلِلْمَرْأَةِ أَنْ تجافى الثَّوْبَ عن وَجْهِهَا تَسْتَتِرُ بِهِ وتجافى الْخِمَارَ ثُمَّ تَسْدُلَهُ على وَجْهِهَا لَا يَمَسُّ وَجْهَهَا

"Boleh bagi wanita (yang sedang ihrom-pen) untuk merenggangkan pakaiannya dari wajahnya, sehingga ia bersitr (menutup diri) dengan pakaian tersebut, dan ia merenggangkan khimarnya/jilbabnya lalu menjulurkannya di atas wajahnya dan tidak menyentuh wajahnya"(Al-Umm 2/203)

Beliau juga berkata :

وَأُحِبُّ لِلْمَشْهُورَةِ بِالْجَمَالِ أَنْ تَطُوفَ وَتَسْعَى لَيْلًا وَإِنْ طَافَتْ بِالنَّهَارِ سَدَلَتْ ثَوْبَهَا على وَجْهِهَا أو طَافَتْ في سِتْرٍ

"Dan aku suka bagi wanita yang dikenal cantik untuk thowaf dan sa'i di malam hari. Jika ia thowaf di siang hari maka hendaknya ia menjulurkan bajunya menutupi wajahnya, atau ia thowaf dalam keadaan tertutup" (Al-Umm 2/212)

Seorang wanita disyari'atkan untuk menggunakan niqob (cadar), hanya saja tatkala ia sedang dalam kondisi ihrom maka rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang wanita untuk menggunakan niqoob, yaitu cadar.

Akan tetapi Al-Imam Asy-Syafi'i –dalam pernyataannya ini- menjelaskan jika seorang wanita baarizah (nampak di kalangan manusia), lalu ia ingin sitr (menutupi dirinya/berhijab) dari manusia (para lelaki asing) yaitu jika ia ingin menutup wajahnya maka caranya dengan menjulurkan kain dari atas kepalanya sehingga menutupi wajahnya, akan tetapi tidak melekat dan menempel di wajahnya sebagaimana halnya cadar yang diikat sehingga menutup wajahnya. Dan juluran kain tersebut menurut Imam Syafi'i kedudukannya seperti penutup bagi wajahnya.

          Sangat jelas bahwa menutup wajah tetap disyari'atkan meskipun dalam kondisi ihrom. Hanya saja memang dalam pernyataan Al-Imam Asy-Syafi'i ini tidaklah tegas menunjukkan bahwa menutup wajah bagi wanita hukumnya wajib. 

Pernyataan-pernyataan wajibnya bercadar kita dapatkan secara tegas dari perkataan mayoritas para ulama syafi'iyah. Dan para ulama syafi'iyah membedakan antara aurot wanita tatkala sholat dan tatkala di hadapan lelaki asing. Dalam sholat wajah dan telapak tangan dibuka, adapaun diluar sholat di hadapan lelaki asing maka wajah adalah aurot dan harus ditutup.



Berikut nukilan pernyataan mereka, yang akan penulis klasifikasikan menjadi dua, (1) para fuqoha' syafi'iyah dan (2) pafa mufassir syafi'iyah

PERTAMA : PARA FUQOHA SYAFI'IYAH :

Diantara mereka :

(1) Imamul Haromain al-Juwaini, beliau berkata :

مع اتفاق المسلمين على منع النساء من التبرج والسفور وترك التنقب

"…disertai kesepakatan kaum muslimin untuk melarang para wanita dari melakukan tabarruj dan membuka wajah mereka dan meninggalkan cadar…"(Nihaayatul Mathlab fi Dirooyatil Madzhab 12/31)

(2) Al-Gozali rahimahullah, beliau berkata :

فإذا خرجت , فينبغي أن تغض بصرها عن الرجال , ولسنا نقول : إن وجه الرجل في حقها عورة , كوجه المرأة في حقه, بل هو كوجه الصبي الأمرد في حق الرجل , فيحرم النظر عند خوف الفتنة فقط , فإن لم تكن فتنة فلا , إذ لم يزل الرجال على ممر الزمان مكشوفي الوجوه , والنساء يخرجن منتقبات , ولو كان وجوه الرجال عورة في حق النساء لأمروا بالتنقب أو منعن من الخروج إلا لضرورة

"Jika seorang wanita keluar maka hendaknya ia menundukkan pandangannya dari memandang para lelaki. Kami tidak mengatakan bahwa wajah lelaki adalah aurot bagi wanita –sebagaimana wajah wanita yang merupakan aurot bagi lelaki- akan tetapi ia sebagaimana wajah pemuda amrod (yang tidak berjanggut dan tanpan) bagi para lelaki, maka diharamkan untuk memandang jika dikhawatirkan fitnah, dan jika tidak dikhawatirkan fitnah maka tidak diharamkan. Karena para lelaki senantiasa terbuka wajah-wajah mereka sejak zaman-zaman lalu, dan para wanita senantiasa keluar dengan bercadar. Kalau seandainya wajah para lelaki adalah aurot bagi wanita maka tentunya para lelaki akan diperintahkan untuk bercadar atau dilarang untuk keluar kecuali karena darurat" (Ihyaa Uluum Ad-Diin 2/47)

Sangat jelas dalam pernyataan Al-Gozali diatas akan wajibnya bercadar, karena jelas beliau menyatakan bahwa wajah wanita adalah aurot yang tidak boleh dipandang oleh lelaki asing, karenanya para wanita bercadar. Jika wajah para lelaki adalah aurot yang tidak boleh dipandang oleh para wanita secara mutlak maka para lelaki tentu akan diperintahkan bercadar.

(3) Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, beliau berkata

ويحرم نظر فحل بالغ إلى عورة حرة كبيرة أجنبية وكذا وجهها وكفيها عند خوف فتنة وكذا عند الأمن على الصحيح

"Dan diharamkan seorang lelaki dewasa memandang aurot wanita dewasa asing, demikian juga haram memandang wajahnya dan kedua tangannya tatkala dikhawatirkan fitnah, dan demikian juga haram tatkala aman dari fitnah menurut pendapat yang benar" (Minhaaj At-Tholibin hal 95)

Ar-Romly tatkala menjelaskan perkataan An-Nawawi di atas, beliau berkata :

(على الصحيح) ووجَّهه الإمام باتفاق المسلمين على منع النساء أن يخرجن سافرات الوجوه وبأن النظر مظنة الفتنة ومحرك للشهوة فاللائق بمحاسن الشريعة سد الباب والإعراض عن تفاصيل الأحوال كالخلوة بالأجنبية وبه اندفع القول بأنه غير عورة فكيف حرم نظره لأنه مع كونه غير عورة نظره مظنة للفتنة أو الشهوة ففطم الناس عنه احتياطا

"(menurut pendapat yang benar), dan Al-Imam (Imamul Haromain al-Juwaini) berdalil untuk pendapat ini dengan "kesepakatannya kaum muslimin untuk melarang para wanita keluar dalam kondisi terbuka wajah-wajah mereka, dan juga karena melihat (wajah-wajah mereka) sebab timbulnya fitnah dan menggerakan syahwat. Maka yang pantas dan sesuai dengan keindahan syari'at adalah menutup pintu dan berpaling dari perincian kondisi-kondisi seperti berkholwat (berdua-duaan) dengan wanita ajnabiah (wanita yg bukan mahram -pen)". Dengan demikian tertolaklah pendapat bahwa wajah bukanlah aurot, lantas bagaimana diharamkan memandangnya?, karena meskipun wajah bukan aurot maka memandangnya sebab menimbulkan fintah atau syahwat, maka orang-orang dilarang untuk melihat wajah sebagai bentuk kehati-hatian"  (Nihaayatul Muhtaaj 6/187)

(4) As-Suyuthy rahimahullah, beliau berkata :

المرأة في العورة لها أحوال حالة مع الزوج ولا عورة بينهما وفي الفرج وجه وحالة مع الأجانب وعورتها كل البدن حتى الوجه والكفين في الأصح وحالة مع المحارم والنساء وعورتها ما بين السرة والركبة وحالة في الصلاة وعورتها كل البدن إلا الوجه والكفين

"Wanita dalam perihal aurot memiliki beberapa kondisi, (1) kondisi bersama suaminya, maka tidak ada aurot diantara keduanya, dan ada pendapat bahwa kemaluan adalah aurot (2) kondisi wanita bersama lelaki asing, maka aurotnya adalah seluruh badannya bahkan wajah dan kedua telapak tangan menurut pendapat yang lebih benar, (3) Kondisi bersama para mahromnya dan para wanita lain, maka aurotnya antara pusar dan lutut, (4) dan aurotnya tatkala sholat adalah seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan" (Al-Asybaah wan Nadzooir hal 240)

(5) As-Subki rahimahullah, beliau berkata :

الأقرب إلى صنع الأصحاب: أن وجهها وكفيها عورة في النظر لا في الصلاة

"Yang lebih dekat kepada sikap para ulama syafi'iyah bahwasanya wajah wanita dan kedua telapak tangannya adalah aurot dalam hal dipandang bukan dalam sholat" (Sebagaimana dinukil oleh Asy-Syarbini dalam Mughni Al-Muhtaaj Ilaa Ma'rafat Alfaazh al-Minhaaj 3/129)

(6) Ibnu Qoosim (wafat 918 H) rahimahullah, beliau berkata:

(وجميع بدن) المرأة (الحُرَّة عورة إلا وجهها وكفيها). وهذه عورتها في الصلاة؛ أما خارجَ الصلاة فعورتها جميع بدنها

"Dan seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurot kecuali wajahnya dan kedua telapak tangannya. Dan ini adalah aurotnya dalam sholat, adapun di luar sholat maka aurotnya adalah seluruh tubuhnya" (Fathul Qoriib Al-Mujiib fi Syar Alfaadz at-Taqriib hal 84)

(7) Asy-Syarbini rahimahullah, beliau berkata :

ويكره أن يصلي في ثوب فيه صورة , وأن يصلي في الرجل متلثماً والمرأة منتقبة إلا أن تكون في مكان وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر إليها , فلا يجوز لها رفع النقاب

"Dan dimakaruhkan seorang lelaki sholat dengan baju yang ada gambarnya, demikian juga makruh sholat dengan menutupi wajahnya. Dan dimakruhkan seorang wanita sholat dengan memakai cadar kecuali jika ia sholat di suatu tempat dan ada para lelaki ajnabi (bukan mahramnya-pen) yang tidak menjaga pandangan mereka untuk melihatnya maka tidak boleh baginya untuk membuka cadarnya" (Al-Iqnaa' 1/124)

(8) Abu Bakr Ad-Dimyaathy rahimahullah, beliau berkata:

واعلم أن للحرة أربع عورات فعند الأجانب جميع البدن  وعند المحارم والخلوة ما بين السرة والركبة وعند النساء الكافرات ما لا يبدو عند المهنة وفي الصلاة جميع بدنها ما عدا وجهها وكفيها

"Ketahuliah bahwasanya bagi wanita merdeka ada 4 aurot, (1) tatkala bersama para lelaki asing maka aurotnya seluruh badannya, (2) tatkala bersama mahrom dan tatkala kholwat (sedang bersendirian) maka aurotnya adalah antara pusar dan lutut, (3) tatkala bersama para wanita kafir aurotnya adalah apa yang biasa nampak tatkala bekerja, (4) tatkala dalam sholat aurotnya adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya' (Hasyiah Iaanat Thoolibin 1/113)

Beliau juga berkata ;

ويكره أن يصلي في ثوب فيه صورة أو نقش لأنه ربما شغله عن صلاته وأن يصلي الرجل متلثما والمرأة منتقبة إلا أن تكون بحضرة أجنبي لا يحترز عن نظره لها فلا يجوز لها رفع النقاب

"Dan dibenci sholat di baju yang ada gambarnya atau bordirannya karena bisa jadi menyibukannya dari sholatnya, dan dimakruhkan seorang lelaki sholat dengan menutup wajahnya, juga dimakaruhkan wanita sholat dengan bercadar, kecuali jika dihadapan seorang lelaki ajnabi yang tidak menjaga pandangannya dari melihatnya maka tidak boleh baginya membuka cadarnya" (Haasyiah I'aanat Thoolibiin 1/114)

(9) Asy-Syarwaani rahimahullah berkata:

قال الزيادي في شرح المحرر بعد كلام: وعرف بهذا التقرير أن لها ثلاث عورات عورة في الصلاة وهو ما تقدم، وعورة بالنسبة لنظر الاجانب إليها جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد، وعورة في الخلوة وعند المحارم كعورة الرجل اه. ويزد رابعة هي عورة المسلمة بالنسبة لنظر الكافرة غير سيدتها ومحرمها وهي ما لا يبدو عند المهنة

"Az-Zayyaadi berkata dalam syarh Al-Muharror… "Dan diketahui berdasarkan penjelasan ini bahwasanya seorang wanita merdeka memiliki 3 kondisi aurot (1) Aurot dalam sholat, yaitu sebagaimana telah lalu (seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan-pen), (2) Aurot jika ditinjau dari pandangan para lelaki asing kepadanya maka aurotnya adalah seluruh tubuhnya bahkan wajah dan kedua tagannya menurut pendapat yang jadi patokan, (3) Aurotnya tatkala sedang bersendirian atau bersama mahram maka seperti aurtonya lelaki (antara pusar dan lutut-pen)"

Ditambah yang ke (4) Aurotnya ditinjau dari pandangan wanita kafir kepadanya jika wanita tersebut bukan tuannya dan juga bukan mahramnya, maka aurotnya adalah yang biasa nampak tatkala kerja" (Haasyiat Asy-Syarwaani 'alaa Tuhfatil Muhtaaj 2/112)

(10) An-Nawawi Al-Bantani Al-Jaawi (wafat 1316 H) rahimahullah, beliau berkata :

"Dan aurot wanita merdeka dan budak dihadapan para lelaki asing yaitu jika mereka memandang kepada mereka berdua adalah seluruh tubuh bahkan termasuk wajah dan kedua telapak tangan, bahkan meskipun tatkala aman dari fitnah. Maka haram bagi mereka untuk melihat sesuatupun dari tubuh mereka berdua meskipun kuku yang terlepas dari keduanya" (Kaasyifat As-Sajaa 'alaa Safinatin Najaa hal 63-64)

(11) Ibnu Umar Al-Jaawi (wafat 1316 H) rahimahullah, beliau berkata

والحرة لها أربع عورات : ...رابعتها جميع بدنها حتى قلامة ظفرها وهي عورتها عند الرجال الأجانب فيحرم على الرجل الأجنبي النظر إلى شيء من ذلك ويجب على المرأة ستر ذلك عنه

"Dan wanita merdeka memiliki 4 kondisi tentang aurat…kondisi yang keempat adalah seluruh tubuh sang wanita bahkan kukunya , dan ini adalah aurotnya tatkala ia di hadapan para lelaki yang asing, maka haram bagi seorang lelaki ajnabi (asing) untuk melihat sebagian dari hal itu, dan wajib bagi sang wanita untuk menutup hal itu dari sang lelaki" (Nihaayat az-Zain Fi Irsyaadil Mubtadiin, hal 47)



KEDUA : PARA MUFASIIR SYAFI'IYAH

          Berikut ini akan penulis sampaikan perkataan para ahli tafsir yang bermadzhab syafi'iyah tatkala mereka menafsirkan ayat tentang wajibnya berjilbab, yaitu firman Allah :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (٥٩)

"Hai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS Al-Ahzaab : 59)

(1) Abul Mudzoffar As-Sam'aani (wafat 489 H) rahimahullah, beliau berkata :

قال عبيدة السلماني : تتغطى المرأة بجلبابها فتستر رأسها ووجهها وجميع بدنها إلا إحدى عينيها

"Berkata 'Abiidah As-Salmaaniy : Wanita menutup diri dengan jilbabnya, maka ia menutup kepalanya, wajahnya, dan seluruh tubuhnya kecuali salah satu matanya" (Tafsiirul Qur'aan 4/307)

(2) Ilkyaa Al-Harroosy (wafat 504 H)rahimahullah, beliau berkata

الجلباب: الرداء، فأمرهن بتغطية وجوهن ورؤوسهن، ولم يوجب على الإماء ذلك

"Jilbab adalah selendang kain, maka Allah memerintahkan para wanita untuk menutup wajah-wajah mereka, dan hak ini tidak wajib bagi para budak wanita" (Ahkaamul Qur'aan 4/354)

(3) Al-Baghowi (wafat 516 H) rahimahullah, beliau berkata :

وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَأَبُو عُبَيْدَةَ: أَمَرَ نِسَاءَ الْمُؤْمِنِينَ أن يغطين رؤوسهن ووجوهن بِالْجَلَابِيبِ إِلَّا عَيْنًا وَاحِدَةً لِيُعْلَمَ أَنَّهُنَّ حَرَائِرُ

"Ibnu Abbaas dan Abu Ubaidah berkata : Allah memerintahkan para wanita kaum muslimin untuk menutup kepala mereka dan wajah mereka dengan jilbab kecuali satu mata, agar diketahui bahwasanya mereka adalah para wanita merdeka (bukan budak)" (Tafsir Al-Baghowi 6/376)

(4) Ar-Roozi (wafat 606 H) rahimahullah, beliau berkata :

وقوله ذالِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ قيل يعرفن أنهن حرائر فلا يتبعن ويمكن أن يقال المراد يعرفن أنهن لا يزنين لأن من تستر وجهها مع أنه ليس بعورة لا يطمع فيها أنها تكشف عورتها فيعرفن أنهن مستورات لا يمكن طلب الزنا منهن

"Dan firman Allah ((Yang demikian itu agar mereka dikenal dan tidak diganggu)), dikatakan maknanya adalah mereka dikenal bahwa mereka adalah para wanita merdeka, maka mereka tidak diikuti. Dan mungkin untuk dikatakan bahwasanya mereka tidak berzina. Karena wanita yang menutup wajahnya –padahal wajah bukan aurot- maka tidak bisa diharapkan untuk membuka aurotnya, maka dikenalah mereka bahwa mereka adalah para wanita yang tertutup dan tidak mungkin meminta berzina dari mereka"(Mafaatiihul Ghoib 25/198-199)

(5) Al-Baidhoowi (wafat 691 H)rahimahullah, beliau berkata :

يغطين وجوههن وأبدانهن بملاحفهن إذا برزن لحاجة

"Mereka para wanita menutup wajah-wajah mereka dan tubuh mereka dengan kain-kain mereka jika mereka keluar karena ada keperluan" (Tafsiir Al-Baidhoowi 1/386)

(6) Tafsir Jalaalain

جمع جلباب وهي الملاءة التي تشتمل بها المرأة أي يرخين بعضها على الوجوه إذا خرجن لحاجتهن إلا عينا واحدة

"Jalaabiib adalah kata jamak/prular dari jilbab, yaitu pakaian yang dipakai oleh wanita. Yaitu mereka menjulurkan sebagian jilbab ke wajah-wajah mereka jika mereka keluar untuk keperluan mereka, kecuali (dibuka) satu matanya" (Tafsir Jalaalain hal 559)



PERINGATAN

          Ada beberapa peringatan yang perlu diketahui:

Pertama : Jika wajah wanita bukan aurot (sebagaimana pendapat sebagian ulama syafi'iyah) maka tetap hanya boleh dipandang kalau ada haajah/keperluan syar'i.

Sebagian ulama madzhab syafi'iyah memandang bahwa wajah bukanlah aurot karena beralasan bahwasanya wajah diperlukan untuk dilihat dalam kondisi-kondisi tertentu. Akan tetapi para ulama tersebut tidaklah bermaksud bahwasanya wajah wanita boleh dilihat secara mutlak, akan tetapi mereka menyatakan bahwa wajah wanita hanya boleh dilihat tatkala ada haajah (kebutuhan), seperti tatkala sang wanita menjadi saksi, atau tatkala terjadi akad jual beli, atau dilihat dalam rangka untuk mengobati, dll (lihat penjelasan Al-Maawardi rahimahullah tentang sebab-sebab yang membolehkan memandang wajah wanita, di  Al-Haawi Al-Kabiir 9/35-36). Adapun hanya sekedar memandang wajah wanita tanpa sebab/keperluan yang syar'i maka tidak diperbolehkan.

(1) Asy-Syiroozi rahimahullah berkata :

وأما من غير حاجة فلا يجوز للأجنبي أن ينظر إلى الأجنبية ولا للأجنبية أن تنظر إلى الأجنبي لقوله تعالى { قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم ويحفظوا فروجهم }

"Adapun jika tidak ada hajah (keperluan) maka tidak boleh seorang lelaki ajnabi melihat kepada seorang wanita ajnabiah dan tidak pula boleh wanita ajnabiah memandang lelaki ajnabi karena firman Allah ((Katakanlah kepada para lelaki mukmin untuk menundukkan sebagian pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka.))…"(Al-Muhadzdzab 2/34)

(2) Al-Baihaqi (wafat 458 H) berkata :

بَابُ تَحْرِيمِ النَّظَرِ إِلَى الْأَجْنَبِيَّاتِ مِنْ غَيْرِ سَبَبٍ مُبِيحٍ

"Bab haramnya memandang para wanita ajnabiyat tanpa ada sebab yang membolehkan" (As-Sunan Al-Kubro 7/143)

Beliau juga berkata :

وأما النظر بغير سبب مبيح لغير محرم فالمنع منه ثابت بآية الحجاب

"Adapun memandang kepada selain mahram tanpa sebab yang membolehkan, maka pelarangannya telah tetap dengan ayat al-Qur'an tentang wajibnya berhijab" (Ma'rifat As-Sunan wa Al-Aatsaar 10/23)

(3) Abu Syujaa' Al-Ashfahaani (wafat 593 H) rahimahullah berkata :

وَنَظَرُ الرجلَ إلىَ المرْأة عَلى سَبْعَة أضْربٍ: أحَدُهَا: نَظَرهُ إلى أجَنَبيَّة لغَيْرِ حَاجَة، فَغَيْرُ جَائِز

"Dan pandangan seorang lelaki kepada wanita ada 7 model, yang pertama : Pandangannya kepada soerang wanita ajnabiyah tanpa ada keperluan, maka hal ini tidak diperbolehkan" (Matan Abi Syujaa' hal 158)

(4) Ibnul Mulaqqin (wafat 804 H) rahimahullah berkata :

ويحرم نظر فحل بالغ ومراهق إلى عورة كبيرة أجنبية ووجهها وكفيها لغير حاجة

"Dan diharamkan bagi seorang lelaki dewasa dan juga remaja untuk memandang aurot wanita dewasa ajnabiyah dan wajahnya serta kedua telapak tangannya jika tanpa ada keperluan" (At-Tadzkiroh hal 120)



Kedua : Para ulama syafi'iyah sepakat jika memandang wajah wanita jika khawatir terfitnah atau memandang dengan syahwat dan berledzat-ledzat  maka haram hukumnya. Bahkan sebagian ulama syafi'iyah menukil adanya ijmak (konsensus) para ulama dalam permasalahan ini. Diantara para ulama tersebut :

(1) Imamul Haromain al-Juwaini (wafat 478 H) , beliau berkata :

والنظر إلى الوجه والكفين يحرم عند خوف الفتنة إجماعاً

 "Dan melihat kepada wajah dan kedua telapak tangan haram tatkala dikhawatirkan fitnah, berdasarkan ijmak (konsensus) ulama" (Nihaayatul Mathlab fi Diooyatil madzhab 12/31)

(2) Ibnu Hajr Al-Haitami rahimahulloh berkata

وكذا وجهها أو بعضه ولو بعض عينها وكفها أي كل كف منها وهو من رأس الأصابع إلى المعصم عند خوف فتنة إجماعا من داعية نحو مس لها أو خلوة بها وكذا عند النظر بشهوة بأن يلتذ به وإن أمن الفتنة قطعا

"Demikian pula diharamkan melihat wajah sang wanita atau sebagian wajahnya bahkan meskipun sebagian matanya, dan juga telapak tangannya, yaitu seluruh telapak tangannya dari ujung jari-jari hingga pergelangan tangan, tatkala dikhawatirkan fitnah -berdasarkan ijmak ulama-, yaitu fitnah yang mendorong untuk menyentuh sang wanita atau berdua-duannya dengannya. Demikian pula memandangnya dengan syahwat tentu diharamkan meskipun aman dari fitnah" (Nihaayatul Muhtaaj 6/187)

(3) Al-Bujairimy rahimahullah, beliau berkata ;

وَأَمَّا نَظَرُهُ إلَى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ فَحَرَامٌ عِنْدَ خَوْفِ فِتْنَةٍ تَدْعُو إلَى الِاخْتِلَاءِ بِهَا لِجِمَاعٍ أَوْ مُقَدِّمَاتِهِ بِالْإِجْمَاعِ كَمَا قَالَهُ الْإِمَامُ ، وَلَوْ نَظَرَ إلَيْهِمَا بِشَهْوَةٍ وَهِيَ قَصْدُ التَّلَذُّذِ بِالنَّظَرِ الْمُجَرَّدِ وَأَمِنَ الْفِتْنَةَ حَرُمَ قَطْعًا

"Adapun memandang kepada wajah dan kedua telapak tangan maka hukumnya haram tatkala dikhawatirkan fitnah yang mendorong untuk berkhalwat dengan sang wanita untuk berjimak atau pengantar jimak –berdasarkan ijmak ulama-, sebagaimana yang dikatakan oleh Imaamul Haromain al-Juwaini. Kalau melihat kepada sang wanita dengan syahwat atau dengan tujuan berledzat-ledzat dengan sekedar memandang dan aman dari fitnah maka hukumnya jelas haram" (Hasyiyah al-Bujairimy 'ala al-Khothiib 10/63)



Ketiga : Memakai cadar merupakan perkara yang telah dikenal sejak zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hingga saat ini. Karenanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang pakaian wanita yang hendak ihrom :

وَلاَ تَنْتَقِبُ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ

"Wanita yang ihrom tidak boleh memakai cadar" (HR Al-Bukhari no 1837)

Hadits ini menunjukkan bahwa memakai cadar merupakan kebiasaan para wanita di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, karenanya Nabi mengingatkan agar mereka tidak memakai cadar tatkala sedang ihram.

Tradisi kaum muslimat memakai cadar juga telah ditegaskan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar al-'Asqolaani rahimahullah. Beliau berkata :

استمرار العمل على جواز خروج النساء إلى المساجد والاسواق والاسفار منتقبات لئلا يراهن الرجال ولم يؤمر الرجال قط بالانتقاب ... إذ لم تزل الرجال على ممر الزمان مكشوفي الوجوه والنساء يخرجن منتقبات

"Berkesinambungannya praktek akan bolehnya para wanita keluar ke mesjid-mesjid dan pasar-pasar serta bersafar dalam kondisi bercadar agar mereka tidak dilihat oleh para lelaki. Dan para lelaki sama sekali tidak diperintahkan untuk bercadar…dan seiring berjalannya zaman para lelaki senantiasa membuka wajah mereka dan para wanita keluar dengan bercadar.." (Fathul Baari 9/337)

Ibnu Hajar juga berkata :

ولم تزل عادة النساء قديما وحديثا يسترن وجوههن عن الاجانب

"Dan senantiasa tradisi para wanita sejak zaman dahulu hingga sekarang bahwasanya mereka menutup wajah-wajah mereka dari para lelaki asing" (Fathul Baari 9/324)

Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 09-07-1434 H / 19 Mei 2013 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com

AJARAN-AJARAN IMAM SYAFI'I YANG DITINGGALKAN OLEH SEBAGIAN PENGIKUTNYA 2 - HARAMNYA MUSIK

Saya ingat ketika dulu Simbah saya bilang dulu Mbah KH Munawwir dari Krapyak melarang para santinya mendengarkan musik dan radio. Sehingga cocoklah apa yang disampaikan Ustadx Firanda dalam hal ini dengan apa yang dipegang oleh mBah Munawwir. Adapun sekarang???????



KEDUA : HARAMNYA MUSIK

          Merupakan perkara yang menyedihkan tatkala kita menyaksikan sebagian dai yang mengaku mengikuti madzhab syafi'iyah ternyata menggunakan musik dalam beribadah…, jadilah shalawatan disertai senandung musik…irama gambus islami…kasihadahan islami…

Lebih memilukan lagi bahwa ada di antara mereka yang berdakwah dengan menggunakan alat musik….

Padahal ini merupakan bentuk bertasyabbuh (meniru-niru) kaum nasrani dalam tata cara peribadatan mereka di gereja-gereja mereka. Jika bertasyabbuh dalam perkara adat dan tradisi mereka merupakan perkara yang dibenci lantas bagaimana lagi halnya jika bertasyabbuh dalam perkara ibadah mereka??

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَمَنَ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

"Barang siapa yang bertasyabbuh (meniru-niru) suatu kaum maka ia termasuk dari mereka"
Maka sungguh teriris hati ini tatkala membaca slogan "Nada dan Dakwah"??, bagaimana bisa digabungkan antara halal dan haram?? dicampur adukan antara kebenaran dan kebatilan??

Allah berfirman:

وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ

"Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil" (QS Al-Baqoroh : 42)

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tegas mengharamkan musik dalam sabdanya :

لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفِ

"Sungguh akan ada dari umatku kaum-kaum yang menghalalkan zina, kain sutra (bagi lelaki), khomer (segala sesuatu yang memabukkan), dan alat-alat musik" (HR Al-Bukhari)

Pengharaman musik pada hadits ini dari dua sisi :

Pertama : Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam يَسْتَحِلُّوْنَ "menghalalkan". Ini menunjukkan bahwa hukum alat-alat musik adalah haram, namun akan ada kaum dari umat ini yang akan menghalalkannya

Kedua : Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menggandengkan alat-alat musik dengan perkara-perkara yang sangat jelas haram berdasarkan ijmak ulama, yaitu zina, kain sutra (bagi lelaki), dan khomr.


Hadits ini tidak diragukan lagi akan keshahihannya, karenanya para imam hadits telah menyatakan shahihnya hadits ini. Diantara mereka adalah (1) Al-Imam Al-Bukhari yang telah memasukkan hadits ini dalam kitab shahihnya dalam bab yang beliau beri judul ((بَابُ مَا جَاءَ فِيْمَنْ يَسْتَحِلُّ الْخَمْرَ وَيُسَمِّيْهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ)) "Bab tentang orang yang menghalalkan khomer dan menamakannya dengan selain namanya". Lalu imam Al-Bukhari berdalil dengan hadits ini. (2) Al-Imam Abu Bakr Al-Ismaa'iliy, beliau telah memasukan hadits ini dalam kitabnya al-Mustakhroj 'ala Shahih Al-Bukhari, (3) Ibnu Hibbaan yang juga telah meriwayatkan hadits ini dalam shahihnya, (4) Al-Haafizh Ibnu As-Sholaah telah menshahihkan hadits ini dalam kitabnya "Uluumul Hadiits", (5) Badruddin Ibnu Jama'ah juga menshahihkan hadits ini dalam kitabnya "Al-Manhal Ar-Rowiyy fi Mukhtashor Uluum al-Hadits an-Nabawiy, (6) Al-Haafiz Ibnu Katsiir dalam kitabnya Ikhtishoor Uluumil Hadiits, (7) Ibnul Mulaqqin dalam kitabnya "Al-Muqni' fi Uluumil Hadits", (8) Zainuddiin Al-'Irooqi dalam kitabnya "Syarh at-Tabshiroh wa at-Tadzkiroh", (9) Badruddiin al-'Ainiy dalam kitabnya "Umdatul Qoori Syarh Shahih al-Bukhari", (10) Ibnu Hajr al-'Asqolaaniy dalam kitabnya "Taghliiq at-Ta'liiq", (11) Ibnul Waziir dalam kitabnya "Tanqiihul Andzoor", (12) As-Sakhoowiy dalam kitabnya "Fathul Mughiits Syarh Alfiyatil hadiits", (13) Ahmad Syaakir dalam kitabnya Al-Baa'its Al-Hatsiits Syarh Ikhtishoor 'Uluumil Hadiits, (14) Al-Albaani dalam kitabnya "Tahriim Aalat at-Thorb", dan (15) Syu'aib Al-Arnauuth dalam tahqiqnya terhadap Shahih Ibni Hibbaan. (Silahkan lihat kitab Ar-Rod 'Ala Al-Qordhoowi wa Al-Judai' hal 210-214)


Berikut nukilan perkataan para ulama syafi'iyah tentang haramnya musik

(1) Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah –dalam bab washiat- berkata

وَإِنْ كان لَا يَصْلُحُ إلَّا لِلضَّرْبِ بَطَلَتْ عِنْدِي الْوَصِيَّةُ وَهَكَذَا الْقَوْلُ في الْمَزَامِيرِ كُلِّهَا

"Jika al-uud (kayu yang dimaksud oleh pewasiat) tidak bisa digunakan kecuali untuk dimainkan (semacam gitar-pen) maka wasiatnya batal menurutku. Demikian juga pembicaraan mengenai seluruh jenis seluring (alat musik)"  (Al-Umm 4/92)

Sangat jelas bahwa Imam Asy-Syafi'i rahimahullah mengharamkan seseorang yang berwasiat untuk memberikan al-'uud (kayu) yang ia miliki kepada orang lain, jika yang dimaksud dengan al-'uud tidak ada selain kayu yang bersenar (gitar). Adapun jika sang pewasiat ternyata memiliki jenis al-uud yang lain, seperti busur panah dan tongkat maka washiat yang dijalankan hanyalah pada busur dan tongkat untuk diberikan kepada orang lain tersebut.

Imam Asy-Syafi'i juga menegaskan bahwa hukum haramnya washiat ini juga berlaku pada seluruh jenis mizmar (alat musik/seruling).


Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah juga berkata –tentang hukum potong tangan bagi pencuri-:

فَكُلُّ ما له ثَمَنٌ هَكَذَا يُقْطَعُ فيه إذَا بَلَغَ قِيمَتُهُ رُبُعَ دِينَارٍ مُصْحَفًا كان أو سَيْفًا أو غَيْرَهُ مِمَّا يَحِلُّ ثَمَنُهُ فَإِنْ سَرَقَ خَمْرًا أو خِنْزِيرًا لم يُقْطَعْ لِأَنَّ هذا حَرَامُ الثَّمَنِ وَلَا يُقْطَعُ في ثَمَنِ الطُّنْبُورِ وَلَا الْمِزْمَارِ

"Maka segala barang yang berharga menyebabkan dipotong tangan sang pencuri jika harga barang tersebut mencapai seperempat dinar. Barang tersebut baik mushaf (al-Qur'an) atau pedang atau yang lainnya yang hasil penjualannya halal. Jika ia mencuri khomr atau babi maka tidaklah dipotong tangannya karena hasil penjualan khomr dan babi adalah haram. Dan juga tidak dipotong tangan sang pencuri jika mencuri tunbur (kecapi/rebab) dan mizmar (seruling)" (Al-Umm 6/147)

Sangat jelas bahwa Al-Imam Asy-Syafi'i menyamakan hukum alat musik sama seperti hukum khomr, sama-sama haram, dan tidak halal hasil penjualannya, karenanya jika ada pencuri yang mencuri barang-barang haram ini maka tidaklah dipotong tangannya.

Al-Imam Asy-Syafi'i juga berkata (tentang hukum di antara orang-orang kafir ahli al-jizyah):

وَلَوْ كَسَرَ له طُنْبُورًا أو مِزْمَارًا أو كَبَرًا ... وَإِنْ لم يَكُنْ يَصْلُحُ إلَّا لِلْمَلَاهِي فَلَا شَيْءَ عليه وَهَكَذَا لو كَسَرَهَا نَصْرَانِيٌّ لِمُسْلِمٍ أو نَصْرَانِيٌّ أو يَهُودِيٌّ أو مُسْتَأْمَنٌ أو كَسَرَهَا مُسْلِمٌ لِوَاحِدٍ من هَؤُلَاءِ أَبْطَلْت ذلك كُلَّهُ

"Kalau seandainya ia menghancurkan kecapi atau seruling atau gendang maka…. jika benda-benda ini tidak bisa digunakan kecuali sebagai alat musik maka tidak ada sesuatu yang harus ia ganti rugi. Dan demikian pula jika seorang muslim yang merusak (kecapi dan seruling) milik seorang muslim atau yang merusak adalah orang nasrani atau orang yahudi atau orang kafir musta'man, atau orang muslim yang lain yang telah merusak salah satu dari benda-benda tersebut maka aku anggap semuanya batil (tidak perlu diganti rugi-pen)"(Al-Umm 4/212)

Lihatlah… bahkan menurut Imam Syafi'i jika yang melakukan pengrusakan adalah seorang yang kafir terhadap alat-alat musik milik seorang muslim maka sang kafir tidak perlu menanggung biaya ganti rugi.

Dalam kitab Az-Zawaajir

وَقَدْ عُلِمَ مِنْ غَيْرِ شَكٍّ أَنَّ الشَّافِعِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَرَّمَ سَائِرَ أَنْوَاعِ الزَّمْرِ

"Dan telah diketahui tanpa keraguan bahwasanya Imam Asy-Syafi'i radhiallahu 'anhu mengharamkan seluruh jenis alat musik" (Az-Zawaajir 'an iqtiroofil kabaair 2/907)


(2) Abul Ma'aali Al-Juwaini rahimahullah, beliau berkata :

والبداية في هذا الفن بتحريم المعازف والأوتار، وكلها حرام، وهي ذرائع إلى كبائر الذنوب

"Permulaan dalam pembahasan ini adalah dengan mengharamkan alat-alat musik dan senar-senar, dan semuanya adalah haram, dan merupakan dzari'ah (yang mengantarkan) kepada dosa-dosa besar" (Nihaayatul Mathlab bi Dirooyatil Madzhab 19/22)


(3) Abu Hamid Al-Ghozzali rahimahullah, beliau berkata :

الرابعة المعازف والأوتار حرام لأنها تشوق إلى الشرب وهو شعار الشرب فحرم التشبه بهم وأما الدف إن لم يكن فيه جلاجل فهو حلال ضرب في بيت رسول الله صلى الله عليه وسلم  وإن كان فيه جلاجل فوجهان

"Keempat : Alat-alat musik dan senar-senar adalah haram, karena menimbulkan hasrat untuk meminum (minuman haram), dan ini adalah syi'arnya para peminum khomr, maka diharamkan meniru-niru mereka. Adapun duff (rebana) maka jika tidak ada lonceng-lonceng kecilnya maka halal, telah diketuk di rumah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam", adapun jika ada lonceng-loncengnya maka ada dua pendapat" (Al-Washiith 7/350)


(4) Imam An-Nawawi rahimahullah, beliau berkata :

القسم الثاني أن يغني ببعض آلات الغناء مما هو من شعار شاربي الخمر وهو مطرب كالطنبور والعود والصنج وسائر المعازف والأوتار يحرم استعماله واستماعه ... قلت الأصح أو الصحيح تحريم اليراع وهو هذه الزمارة التي يقال لها الشبابة وقد صنف الإمام أبو القاسم الدولعي كتابا في تحريم اليراع

"Bagian kedua, yaitu bernyanyi dengan menggunakan alat-alat nyanyian yang merupakan syi'ar-nya para peminum khomr, yaitu alat musik seperti kecapi/rebab, gitar, shonj (yaitu dua piringan logam yang saling dibenturkan sehingga menimbulkan suara (lihat al-mu'jam al-washith)-pen), dan seluruh alat-alat musik, serta senar-senar, diharamkan penggunaannya dan mendengarkannya….

Dan yang benar adalah diharamkannya al-yaroo' (semacam seruling) dan inilah yang disebut dengan asy-Syabbabah. Al-Imam Abul Qoosim Ad-Daula'i telah menulis sebuah kitab tentang pengharaman al-Yaroo'"  (Roudotut Thoolibiin 11/228)


(5) Syaikhul Islaam Zakariyaa Al-Anshoori, beliau berkata :

وَيُسَنُّ الْجُلُوسُ في حِلَقِ الْقِرَاءَةِ وَأَمَّا الْغِنَاءُ على الْآلَةِ الْمُطْرِبَةِ كَالطُّنْبُورِ وَالْعُودِ وَسَائِرٍ الْمَعَازِفِ أَيْ الْمَلَاهِي وَالْأَوْتَارِ وما يُضْرَبُ بِهِ وَالْمِزْمَارِ الْعِرَاقِيِّ وهو الذي يُضْرَبُ بِهِ مع الْأَوْتَارِ وَكَذَا الْيَرَاعُ وهو الشَّبَّابَةُ فَحَرَامٌ اسْتِعْمَالُهُ وَاسْتِمَاعُهُ وَكَمَا يَحْرُمُ ذلك يَحْرُمُ اسْتِعْمَالُ هذه الْآلَاتِ وَاِتِّخَاذُهَا لِأَنَّهَا من شِعَارِ الشَّرَبَةِ"

"Disunnahkan duduk dalam halaqoh qiroah (membaca al-qur'an). Adapun nyanyian dengan menggunakan alat-alat musik seperti Thunbur (semacam kecapi/rebab) dan al-uud (gitar) dan seluruh alat-alat musik, yaitu alat-alat musik dan senar-senar, dan apa yang dipukul-pukul serta seruling Iraq, yaitu yang dipukul-pukul dengan disertai senar, demikian pula yaroo' yaitu seruling maka hukumnya haram digunakan dan didengarkan. Sebagaimana diharamkan hal itu maka diharamkan pula memainkan alat-alat ini dan menggunakannya karena alat-alat ini merupakan syi'arnya para peminum minuman haram" (Asna Al-Mathoolib fi syarh Roud At-Thoolin, 4/344-345)


(6) As-Subki rahimahullah, beliau berkata ;

السماع على الصورة المعهودة منكر وضلالة وهو من أفعال الجهلة والشياطين ومن زعم أن ذلك قربة فقد كذب وافترى على الله ومن قال إنه يزيد في الذوق فهو جاهل أو شيطان ومن نسب السماع إلى رسول الله يؤدب أدبا شديدا ويدخل في زمرة الكاذبين عليه صلى الله عليه وسلم ومن كذب عليه متعمدا فليتبوأ مقعده من النار وليس هذا طريقة أولياء الله تعالى وحزبه وأتباع رسول الله صلى الله عليه وسلم بل طريقة أهل اللهو واللعب والباطل وينكر على هذا باللسان واليد والقلب.  ومن قال من العلماء بإباحة السماع فذاك حيث لا يجتمع فيه دف وشبابة ولا رجال ونساء ولا من يحرم النظر إليه

"As-Samaa' (mendengarkan nyanyian yang terkadang disertai sebagian alat musik dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah karena bisa menenteramkan hati-pen) dengan model yang dikenal adalah kemungkaran dan kesesatan. Ia merupakan perbuatan orang-orang jahil dan para syaitan. Barang siapa yang menyangka bahwa hal ini adalah qurbah (ibadah yang mendekatkan kepada Allah-pen) maka ia telah berdusta atas nama Allah. Barang siapa yang mengatakan bahwa perbuatan ini menambah rasa maka ia adalah seorang yang jahil atau syaithon. Barang siapa yang menyandarkan perbuatan ini (as-Samaa') kepada Rasulullah maka hendaknya ia diberi pelajaran yang keras, dan ia masuk dalam golongan para pendusta atas nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Nabi bersabda "Barang siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka siapkanlah tempat duduknya di neraka". Ini (as-Samaa') bukanlah toriqohnya (jalannya) para wali-wali Allah, bukanlah golongan pengikut Allah serta bukan jalan para pengikut Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan ini merupakan jalannya para tukang lalai dan bermain-main serta ahlul batil. Hendaknya hal ini diingkari dengan lisan, tangan, dan hati. Jika ada di antara para ulama yang menyatakan bolehnya as-samaa' maka hal itu jika tidak disertai dengan rebana, seruling, ikhtilat lelaki dan perempuan, serta orang yang haram untuk dipandang" (sebagaimana dinukil oleh Asy-Syarbini di Mughny al-Muhtaaj 4/429)


(7) Ar-Romli rahimahullah, beliau berkata:
قوله (وسائر المعازف) لخبر البخاري ليكونن في أمتي أقوام يستحلون الحر والخمر والحرير والمعازف ولأنها تدعو إلى شرب الخمر لا سيما من قرب عهده به ولأن التشبه بأهل المعاصي حرام ومن المعازف الرباب والجنك والكمنجة
قوله (وكذا اليراع) والعجب كل العجب ممن هو من أهل العلم ويزعم أن الشبابة حلال ويحكيه وجها في مذهب الشافعي ولا أصل له وقد علم أن الشافعي وأصحابه قالوا بحرمة سائر أنواع المزامير والشبابة منها بل هي أحق من غيرها بالتحريم فقد قال القرطبي إنها من أعلى المزامير وكل ما لأجله حرمت المزامير موجود فيها وزيادة فتكون أولى بالتحريم قلت وما قاله حق واضح والمنازعة فيه مكابرة
"Dan perkataan beliau (Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshoori) : ((Dan seluruh alat-alat musik hukumnya haram)) dikarenakan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam) "Akan ada pada umatku kaum-kaum yang menghalalkan zina, khomr, kain sutra, dan alat-alat musik". Dan juga karena alat-alat musik mengajak (menjerumuskan) kepada minum khomr, terlebih lagi orang yang baru saja bertaubat dari minum khomr. Dan juga karena bertasyabbuh (meniru-niru) para pelaku kemaksiatan.

Diantara alat-alat musik adalah rebab, jank (semacam gitar, silahkan lihat Taajul 'Aruus 27/100-pen), kamanjah (alat musik yang memiliki kayu berbentuk busr dengan empat senar, silahkan lihat al-mu'jam al-washith 2/799-pen).

Dan perkataan beliau ((Demikian juga diharamkan al-yaroo)).

Yang sangat mengherankan adalah orang yang termasuk ahlul ilmi (ulama) akan tetapi menyangka bahwasanya asy-syabaabah (semacam seruling) adalah halal lalu menyatakan ini salah satu pendapat dalam madzhab syafi'iyah. Padahal pendapat ini tidak ada asalnya, padahal telah diketahui bahwasanya Imam Asy-Syafi'i dan para sahabatnya menyatakan haramnya seluruh jenis seruling, dan asy-syabaabah jelas termasuk jenis-jenis seruling, bahkan ia lebih pantas untuk diharamkan dari pada seruling yang lain. Al-Qurthubi berkata : "Asy-Syabaabah adalah model seruling yang paling top. Dan seluruh perkara yang menyebabkan diharamkannya seruling-seruling terdapat pada asy-Syabaabah bahkan lebih dari pada itu, sehingga Asy-Syabaabah lebih utama untuk diharamkan"

Apa yang dikatakan oleh Al-Qurthubi adalah benar, dan sikap menyelisihi hal ini adalah kesombongan" (Haasyiat Romly, 4/344-345)


(8) Asy-Syarbini rahimahullah, beliau berkata :
( ويحرم استعمال ) أو اتخاذ ( آلة من شعار الشربة ) جمع شارب وهم القوم المجتمعون على الشراب الحرام واستعمال الآلة هو الضرب بها ( كطنبور ) بضم الطاء ويقال الطنبار ( وعود وصنج ) وهو كما قال الجوهري صفر يضرب بعضها على بعض وتسمى الصفاقتين لأنهما من عادة المخنثين ( ومزمار عراقي ) بكسر الميم وهو ما يضرب به مع الأوتار.
 ( و ) يحرم ( استماعها ) أي الآلة المذكورة لأنه يطرب ولقوله صلى الله عليه وسلم ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الخز والحرير والمعازف ...
"Dan diharamkan memainkan atau menggunakan alat yang merupakan syi'arnya para peminum…, yaitu kaum yang berkumpul untuk meminum minuman haram. Dan memainkan alat  yaitu memukulnya seperti thunbur (kecapi), 'uud (semacam gitar) dan shonj –sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Jauhari- yaitu dua piringan tembaga yang saling dibenturkan sehingga menimbulkan suara, dan dinamakan juga as-soffaaqotaini, karena keduanya merupakan tradisi orang-orang banci. Dan juga mizmar irooqi, yaitu seruling yang dimainkan dengan senar-senar.

Dan diharamkan mendengarkan alat-alat tersebut karena membuat melayang dan karena sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam "Akan ada dari umatku kaum-kaum yang menghalalkan zina, kain sutra, dan alat-alat musik".(Mughny al-Muhtaaj 4/429)


(9) Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah, dalam kitab beliau Az-Zawaajir :

وَقَدْ عُلِمَ مِنْ غَيْرِ شَكٍّ أَنَّ الشَّافِعِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَرَّمَ سَائِرَ أَنْوَاعِ الزَّمْرِ...وَمَا حُرِّمَتْ هَذِهِ الْأَشْيَاءُ لِأَسْمَائِهَا وَأَلْقَابِهَا ، بَلْ لِمَا فِيهَا مِنْ الصَّدِّ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنْ الصَّلَاةِ وَمُفَارَقَةِ التَّقْوَى وَالْمَيْلِ إلَى الْهَوَى وَالِانْغِمَاسِ فِي الْمَعَاصِي

"Dan telah diketahui –tanpa diragukan lagi- bahwasanya Al-Imam Asy-Syafi'i radhiallahu 'anhu mengharamkan seluruh jenis alat musik… dan tidaklah diharamkan perkara-perkara ini (alat-alat musik-pen) dikarenakan nama-namanya, akan tetapi karena pada alat-alat musik menghalangi dari mengingat Allah dan sholat, serta pemisahan dari ketakwaan dan kecondongan kepada hawa nafsu serta tenggelam dalam kemaksiatan-kemaksiatan" (Az-Zawaajir 'an iqtiroofil kabaair 2/907)

Beliau juga berkata :

الأَوتار والمعازف كالطُّنْبُور والعُود والصَّنْج أي: ذي الأوتار والرباب (1) والجَنْك (2) والكمنجة والسنطير والدِّرِّيجُ (3)، وغير ذلك من الآلات المشهورة عند أهل اللهو والسَّفاهة والفُسوق، وهذه كلُّها محرَّمة بلا خِلاف، ومَن حكى فيه خلافًا فقد غلط أو غلب عليه هَواه، حتى أصمَّه وأعماه، ومنعه هداه، وزلَّ به عن سنن تَقواه

"Senar-senar dan alat-alat musik seperti kecapi, gitar, as-shonj yaitu yang ada senarnya, rebab, jank (semacam gitar), kamanjah (alat musik yang memiliki kayu berbentuk busr dengan empat senar), sinthir (semacam alat musik yang senarnya dari tembaga –lihat al-mu'jam al-washith-pen), dan dirriij (semacam kecapi), serta alat-alat musik lainnya yang dikenal oleh para pemain dan orang-orang bodoh dan para pelaku kefasikan. Ini semuanya hukumnya haram tanpa ada khilaf (perselisihan). Barang siapa yang menyebutkan adanya khilaf dalam hal ini maka ia telah keliru atau hawa nafsunya telah mendominasinya sehingga membuatnya tuli dan buta serta mencegahnya dari petunjuk dan juga menggelincirkannya dari jalan ketakwaannya" (Kaff Ar-Ri'aaa' 'an muharromaat al-lahwi wa as-samaa' hal 118)


Demikianlah perkataan para ulama madzhab syafi'iyah tentang pengharaman alat-alat musik. Kesimpulan yang bisa kita ambil dari perkataan-perkataan mereka di atas:

Pertama : Seluruh ulama syafi'iyah sepakat akan haramnya seluruh alat-alat musik secara umum. Mereka hanya berselisih tentang alat musik al-Yaroo' (semacam seruling). Akan tetapi pendapat yang benar adalah haramnya alat musik ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Imam An-Nawawi dan Ar-Romly rahimahumallahu

Kedua : Mereka sepakat bahwa menjual alat-alat musik hukumnya adalah haram. Karenanya mereka menyamakan penjualan alat-alat musik sama seperti menjual khomr

Ketiga : Barang siapa yang berwasiat untuk memberikan alat musiknya kepada orang lain, maka wasiatnya tersebut dianggap batil dan tidak sah

Keempat : Sebagaimana diharamkan memainkan alat-alat musik demikian pula diharamkan mendengarkan suara alat-alat musik

Ada beberapa sebab diharamkannya alat musik yang telah disebutkan oleh mereka, yaitu (1) bertasyabbuh dengan para peminum khomr atau para pelaku kemaksiatan dan (2) mengantarkan pada perbuatan dosa-dosa besar (3) Menghalangi dari mengingat Allah (4) menyebabkan kecondongan kepada hawa nafsu dan menjauhkan dari ketakwaan



IJMAK ULAMA AKAN HARAMNYA MUSIK

Pengharaman alat-alat musik tentunya bukan hanya ditegaskan oleh para ulama syafi'iyah saja, akan tetapi pengharaman alat-alat musik ini merupakan kesepakatan para ulama dari 4 madzhab. Mereka tidaklah mengecualikan pengharaman alat-alat musik kecuali duff (rebana) yang dimainkan tatkala hari raya dan juga pada acara walimahan.

Bahkan banyak ulama dari berbagai madzhab dan dari berbagai kurun yang menyatakan adanya ijmak (konsensus) dari para ulama akan haramnya alat-alat musik.

Berikut diantara para ulama tersebut :

(1) Ibnu Jariir At-Thobari (wafat 310 H), ia berkata :

فَقَدْ أَجْمَعَ عُلَمَاءُ الْأَمْصَارِ عَلَى كَرَاهَةِ الْغِنَاءِ وَالْمَنْعِ مِنْهُ

"Telah sepakat para ulama dari seluruh negeri akan dibencinya nyanyian dan melarang nyanyian"(sebagaimana dinukil oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya 14/56)

(2) Al-Baghowi (wafat 516 H), dari madzhab Syafi'i, beliau berkata :

واتفقوا على تحريم المزامير والملاهي والمعازف

"Dan mereka (para ulama) sepakat akan haramnya alat-alat musik" (Syarhus Sunnah 13/383)

(3) Ibnu Qudaamah Al-Maqdisi (wafat 540 H) dari madzhab Hanbali, beliau berkata :

وأما آلة اللهو كالطنبور والمزمار والشَّبَّابة فلا قطع فيه ... أنه آلة للمعصية بالاجماع فلم يقطع بسرقته كالخمر

"Adapun alat main musik seperti tunbur, mizmar, dan syabbaabah maka tidak ada potong tangan (bagi yang mencurinya-pen)….sesungguhnya itu adalah alat untuk bermaksiat berdasarkan ijmak ulama, maka tidak dipotong tangan karena mencurinya, sebagaimana khomr" (Al-Mughny 10/278)

(4) Abul 'Abbaas Al-Qurthubi (wafat tahun 656 H) dari madzhab Maliki, ia berkata :

فأما ما أبدعه الصوفية اليوم من الإدمان على [سماع] المغاني بالآلات المطربة ؛ فمن قبيل ما لا يُختلف في تحريمه ، لكن النفوس الشهوانية والأغراض الشيطانية قد غلبت على كثير ممن نُسِب إلى الخير وشُهر بذكره ، حتى عموا عن تحريم ذلك وعن فحشه

"Adapun apa yang diada-adakan (bid'ah) oleh kaum sufiah pada hari ini berupa sikap terus-menerus mendengar lagu-lagu yang disertai alat-alat musik maka termasuk perkara yang tidak diperselisihkan akan keharamannya. Akan tetapi jiwa yang dirasuki syahwat dan tujuan-tujuan yang kesetanan telah mendominasi banyak orang yang dinisbahkan kepada kebaikan dan terkenal dengan kebaikan tersebut, hingga akhirnya buta akan haramnya dan buruknya hal ini" (Al-Mufhim Limaa Asykala Min Talkhiis Kitaabi Muslim 2/534)

(5) Ibnu As-Sholaah (wafat 643 H), dari madzhab syafi'i, beliau berkata

وأما اباحة هذا السماع وتحليله فليعلم أن الدف والشبابة والغناء إذا اجتمعت فاستماع ذلك حرام عند أئمة المذاهب وغيرهم من علماء المسلمين ولم يثبت عن أحد ممن يعتد بقوله في الإجماع والخلاف أنه أباح هذا السماع

"Adapun pembolehan samaa' ini dan penghalalannya maka ketahuilah bahwasanya rebana dan syabaabah (semacam seruling) dan nyanyian jika terkumpulkan maka mendengarkannya adalah haram di sisi para imam-imam madzhab dan selain mereka dari kalangan para ulama, dan tidak valid dari seorangpun yang perkataannya mu'tabar(terangap) dalam ijmak dan perselisihan bahwasanya ia membolehkan model samaa' seperti ini" (fataawa Ibnu As-Sholaah 2/499)

(6) An-Nawawi rahimahullah (wafat 676 H) dari madzhab Asy-Syafi'i, beliau berkata

المزمار العراقي وما يُضرب به الأوتار حرام بلا خلاف

"Seruling Iraqi dan semua alat musik bersenar hukumnya haram tanpa ada perselisihan" (Raudhotut Thoolibiin 11/228)

(7) Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat 728 H) dari madzhab Hanbali, beliau berkata

المعازف...وهي الآلة التي يعزف بها : أي يصوت بها ، ولم يذكر أحد من أتباع الأئمة في آلات اللهو نزاعاً… ولكن تكلموا في الغناء المجرد عن آلات اللهو : هل هو حرام ؟ أو مكروه ؟ أو مباح ؟

"Al-Ma'aazif …adalah alat-alat yang digunakan untuk mengeluarkan suara (musik) dan tidak seorangpun dari pengikut para imam yang menyebutkan adanya perselisihan tentang haramnya alat-alat musik….akan tetapi mereka berbicara tentang hukum lagu/nyanyian yang kosong dari alat musik, apakah ia haram, makruh ataukah mubah?" (Majmuu' Al-Fataawa 11/576)

(8) Ibnu Rojab rahimahullah (wafat 795 H), dari madzhab Hanbali, beliau berkata

وأما استماع آلات الملاهي المطرِبة المتلقاة من وضع الأعاجم؛ فمحرمٌ مجمع على تحريمه، ولا يُعلم عن أحد منهم الرخصة في شيء من ذلك، ومن نقل الرخصة فيه عن إمام يُعتد به فقد كذب وافترى

"Adapun mendengarkan alat-alat untuk main musik yang diterima dari buatan orang-orang ajam maka hukumnya haram, dan ijmak ulama atas keharamannya, dan tidak diketahui seorangpun dari kalangan para ulama yang membolehkan suatu alatpun. Barang siapa yang menukilkan bahwa ada seorang imam yang diakui bahwasanya sang imam membolehkan alat musik maka ia telah berdusta dan mengada-ngada" (Fathul Baari syarh Shahih Al-Bukhari 6/83)

(9) Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah (wafat 973 H), dari madzhab Syafi'i, beliau berkata :

الأَوتار والمعازف كالطُّنْبُور والعُود والصَّنْج أي: ذي الأوتار والرباب (1) والجَنْك (2) والكمنجة والسنطير والدِّرِّيجُ (3)، وغير ذلك من الآلات المشهورة عند أهل اللهو والسَّفاهة والفُسوق، وهذه كلُّها محرَّمة بلا خِلاف، ومَن حكى فيه خلافًا فقد غلط أو غلب عليه هَواه، حتى أصمَّه وأعماه، ومنعه هداه، وزلَّ به عن سنن تَقواه

"Senar-senar dan alat-alat musik seperti kecapi, gitar, as-shonj yaitu yang ada senarnya, rebab, jank (semacam gitar), kamanjah (alat musik yang memiliki kayu berbentuk busr dengan empat senar), sinthir (semacam alat musik yang senarnya dari tembaga –lihat al-mu'jam al-washith-pen), dan dirriij (semacam kecapi), serta alat-alat musik lainnya yang dikenal oleh para pemain dan orang-orang bodoh dan para pelaku kefasikan. Ini semuanya hukumnya haram tanpa ada khilaf (perselisihan). Barang siapa yang menyebutkan adanya khilaf dalam hal ini maka ia telah keliru atau hawa nafsunya telah mendominasinya sehingga membuatnya tuli dan buta serta mencegahnya dari petunjuk dan juga menggelincirkannya dari jalan ketakwaannya" (Kaff Ar-Ri'aaa' 'an muharromaat al-lahwi wa as-samaa' hal 118)



PERINGATAN

Diantara perkara yang menimbulkan kerancuan adalah mencampur-adukan antara permasalahan alat musik dengan permasalahan lagu/nyanyian.

Para ulama dalam kitab-kitab fikih klasik membedakan antara dua perkara ini, antara nyanyian dan alar-alat musik. Nyanyian di zaman kita biasanya disertai dengan lantunan alat-alat musik. Adapun istilah al-ginaa' (nyanyian) dalam kitab-kitab fikih klasik dan menurut istilah para ulama terdahulu adalah mencakup perkataan bersajak, serta bait-bait sya'ir yang dilantunkan dengan suara bernada tanpa disertai dengan alat musik

Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

الغناء أشعار موزونة تؤدى بأصوات مستلذة وألحان موزونة

"Al-ghinaa adalah sya'ir-sya'ir yang berwazan yang disenandungkan dengan suara yang indah didengar serta nada yang teratur" (Fathul Baari 10/543)

Al-Khotthobi rahimahullah berkata :

فكل من رفع صوته بشيء ووالى به مرة بعد أخرى فصوته عند العرب غناء

"Maka setiap orang yang mengangkat sedikit suaranya lalu mengikutkan suara berikutnya secara tertib  dan berurutan maka suaranya menurut orang-orang arab adalah al-ghinaa'/nyanyian" (Ghoriibul Hadits 1/656)

Ibnul Atsir rahimahullah tatkala mengomentari hadits Aisyah yang berkata :

دخل علي أبو بكر وعندي جاريتان من جواري الأنصار تغنيان بما تقاولت به الأنصار في يوم بعاث قالت وليستا بمغنيتين فقال أبو بكر أبمزمور الشيطان في بيت النبي صلى الله عليه وسلم وذلك في يوم عيد الفطر فقال النبي صلى الله عليه وسلم يا أبا بكر إن لكل قوم عيدا وهذا عيدنا

"Abu Bakar masuk ke rumahku dan di sisiku ada dua orang budak wanita kecil dari budak-budak kaum anshoor yang sedang menyanyi dengan apa yang disenandungkan oleh kaum Anshoor pada peristiwa perang Bu'aats. Dan mereka berdua bukanlah penyanyi. Maka Abu Bakar berkata, "Apakah ada suara seruling syaitan di rumah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam?". Dan hari itu adalah hari raya 'idul fitri. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Wahai Abu Bakar, sesungguhnya bagi setiap kaum ada hari rayanya, dan ini adalah hari raya kita" (HR Ibnu Maajah no 1898 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Ibnul Atsiir berkata :

أي تُنْشِدان الأشْعار التي قِيلت يوم بُعَاث وهو حَرْب كانت بين الأنصار ولم تُرِد الغِنَاء المعروف بين أهْل اللَّهو واللَّعِب وقد رخَّص عمر في غِناء الأعراب وهو صَوْتٌ كالحُداء

"Sedang bernyanyi maksudnya adalah melantuntkan sya'ir-sya'ir yang disebutkan tatkala peristiwa perang Bu'aats, yaitu peperangan yang terjadi diantara kalangan kaum Anshoor. Dan Aisyah tidaklah bermaksud mereka berdua bernyanyi dengan nyanyian yang dikenal diantara para pelaku perkara yang sia-sia. Dan 'Umar telah memberi keringanan pada nyanyian-nyanyian orang-orang Arab badui, yaitu berupa suara seperti al-hudaa' " (An-Nihaayah fi ghoriibil Atsar 3/739)

Para ulama yang membolehkan nyanyian maka maksud mereka adalah bersenandung dengan pembicaraan yang mubah. Barang siapa yang membencinya atau melarangnya maksudnya adalah jika terlalu sering melakukan nyayian tersebut.

Dalam kitab Al-Umm

قال الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى في الرَّجُلِ يُغَنِّي فَيَتَّخِذُ الْغِنَاءَ صِنَاعَتَهُ ... وَالْمَرْأَةُ لَا تَجُوزُ شَهَادَةُ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَذَلِكَ أَنَّهُ من اللَّهْوِ الْمَكْرُوهِ الذي يُشْبِهُ الْبَاطِلَ وَأَنَّ من صَنَعَ هذا كان مَنْسُوبًا إلَى السَّفَهِ وَسُقَاطَة الْمُرُوءَةِ وَمَنْ رضي بهذا لِنَفْسِهِ كان مُسْتَخِفًّا وَإِنْ لم يَكُنْ مُحَرَّمًا بَيِّنَ التَّحْرِيمِ ...وَهَكَذَا الرَّجُلُ يَغْشَى بُيُوتَ الْغِنَاءِ وَيَغْشَاهُ الْمُغَنُّونَ إنْ كان لِذَلِكَ مُدْمِنًا وكان لِذَلِكَ مُسْتَعْلِنًا عليه مَشْهُودًا عليه فَهِيَ بِمَنْزِلَةِ سَفَهٍ تُرَدُّ بها شَهَادَتُهُ وَإِنْ كان ذلك يَقِلُّ منه لم تُرَدَّ بِهِ شَهَادَتُهُ لِمَا وَصَفْت من أَنَّ ذلك ليس بِحَرَامٍ بَيِّنٍ فَأَمَّا اسْتِمَاعُ الْحِدَاءِ وَنَشِيدِ الْأَعْرَابِ فَلَا بَأْسَ بِهِ قَلَّ أو كَثُرَ وَكَذَلِكَ اسْتِمَاعُ الشِّعْرِ *

"Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata tentang soerang lelaki yang menyanyi dan menjadikan nyanyian sebagai pekerjaannya … dan seorang wanita, maka tidak boleh syahaadah (persaksian) salah satu dari keduanya. Hal ini dikarenakan nyanyian adalah termasuk perkara sia-sia yang makruh/dibenci yang mirip dengan kebatilan. Barang siapa yang melakukannya maka ia dinisbahkan kepada kebodohan dan jatuh 'adalahnya (tidak diterima persaksiannya-pen). Barang siapa yang ridho dengan hal ini (menjadikan nyayian sebagai keahliannya-pen) maka ia telah bodoh, meskipun keharamannya tidaklah jelas

Dan demikian pula seorang lelaki yang mendatangai rumah-rumah nyanyian dan didatangi oleh para penyanyi, maka jika ia selalu melakukannya dan menampakkannya, serta disaksikan perbuatannya tersebut maka hal ini sama kedudukannya seperti kebodohan yang menyebabkan tertolak persaksiannya. Dan jika jarang/sedikit ia melakukannya maka tidak tertolak persaksiannya dikarenakan bahwa hal itu bukanlah perkara yang jelas keharamannya.

Adapun mendengarkan al-hudaa', nasyid-nasyid orang-orang Arab maka hal ini tidaklah mengapa, baik jarang maupun sering, dan demikian pula mendengarkan sya'ir-sya'ir" (Al-Umm 6/209)

Dalam pernyataan di atas nampak Al-Imam Asy-Syafi'i menyatakan bahwa nyanyian adalah perkara yang makruh dan mirip dengan kebatilan, akan tetapi tidak sampai jelas keharamannya. Barang siapa yang terlalu sering melakukan nyanyian maka tertolak syahadahnya/persaksiannya.

Dari sini sangatlah jelas bahwasanya Imam Asy-Syafi'i membedakan antara hukum nyanyian yang hanya sekedar makruh tidak sampai jelas keharamannya, dengan alat-alat musik yang hukumnya jelas haram (sebagaimana telah lalu penukilan dari Imam Asy-Syafi'i rahimahullah).

Ibnu Hibban rahimahullah berkata:

ذكر البيان بأن الغناء الذي وصفناه إنما كان ذلك أشعارا قيلت في أيام الجاهلية فكانوا ينشدونها ويذكرون تلك الأيام، دون الغناء الذي يكون بغزل يقرب سخط الله جل وعلا من قائله

"Penjelasan tentang bahwasanya al-ghinaa/nyanyian yang kami sifatkan hanyalah berupa sya'ir-sya'ir yang diucapkan tatkala di zaman jahiliyah, mereka melantunkannya dan mengingat hari-hari jahiliyah tersebut, dan bukanlah nyanyian yang ada cumbuan rayu wanita yang mendekatkan kemurkaan Allah kepada pengucapnya" (Shahih Ibnu Hibbaan 14/187)

Ibnu Abdilbarr rahimahullah berkata (setelah beliau membicarakan tentang nyanyian orang-orang yang sedang naik tunggangan mereka dalam menempuh perjalanan mereka):

هذه الأوجه من الغناء لا خلاف في جوازها بين العلماء ... ؛ إذا كان الشعر سالما من الفحش والخنى، وأما الغناء الذي كرهه العلماء فهذا الغناء بتقطيع حروف الهجاء وإفساد وزن الشعر والتمطيط به طلبا للهو والطرب، وخروجا عن مذاهب العرب

"Ini adalah bentuk-bentuk nyanyian yang tidak ada perselisihan di kalangan para ulama akan kebolehannya….jika sya'ir terbebas dari perkataan keji dan kotor. Adapun al-ghinaa/nyanyian yang dibenci oleh para ulama adalah nyanyian yang dilantunkan dengan memotong-motong huruf-huruf hijaiyah, dan merusak wazan sya'ir, serta memanjang-manjangkannya karena mencari al-lahwu (pekerjaan sia-sia) dan at-thorb (melayang terlena-pen) dan sebagai bentuk keluar dari tradisi orang-orang Arab" ((At-Tamhiid 22/197)

Ibnu Rojab Al-Hanbali berkata,

ولا ريب أن العرب كان لهم غناء يتغنون به، وكان لهم دفوف يضربون بها، وكان غناؤهم بأشعار أهل الجاهلية من ذكر الحروب وندب من قتل فيها، وكانت دفوفهم مثل الغرابيل ليس فيها جلاجل ... فكان النبي صلى الله عليه وسلم يرخص لهم في أوقات الأفراح كالأعياد والنكاح وقدوم الغياب في الضرب للجواري بالدفوف، والتغني مع ذلك بهذه الأشعار وما كان في معناها، فلما فتحت بلاد فارس والروم ظهر للصحابة ما كان أهل فارس والروم قد اعتادوه من الغناء الملحن بالإيقاعات الموزونة على طريقة الموسيقى، بالأشعار التي توصف فيها المحرمات من الخمور والصور الجميلة المثيرة للهوى الكامن في النفوس المجبول محبته فيها، بآلات اللهو المطربة، المخرج سماعها عن الاعتدال

"Dan tidak diragukan lagi bahwasanya orang-orang Arab dahulu memiliki lagu yang mereka nyanyikan, mereka juga memiliki rebana-rebana yang mereka pukulkan/mainkan. Lagu mereka adalah sya'ir-sya'ir ahlul jahiliyah seperti penyebutan peperangan-peperangan dan motivasi untuk ikut serta dalam peperangan. Rebana mereka dahulu tanpa ada lonceng-lonceng kecil…Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberi keringanan kepada mereka pada waktu-waktu gembira seperti pada hari-hari raya, walimah pernikahan, datangnya orang yang telah lama berpisah, untuk memainkan (memukul-mukulkan) rebana tersebut oleh para budak-budak wanita kecil, serta bersenandung dengan sya'ir-sya'ir dan yang semisal sya'ir-sya'ir.

Tatkala kaum muslimin menguasai negeri Persia dan Romawi maka nampak pada para sahabat kebiasaan orang-orang Persia dan Romawi yang menyanyikan lagu-lagu yang bernada dengan ketukan-ketukan/irama yang teratur dengan metode musik, disertai syai'ir-syai'ir yang mensifatkan dan menyebutkan perkara-perkara yang haram, seperti khomr, wanita-wanita cantik yang menyebabkan terkobarkannya syahwat yang tersembunyi di dalam jiwa yang tabi'atnya menyukai hal-hal tersebut, disertai juga dengan alat-alat musik yang menyebabkan pendengarnya keluar dari sikap lurus

فحينئذ أنكر الصحابة الغناء واستماعه، ونهوا عنه وغلظوا فيه، حتى قال ابن مسعود: الغناء ينبت النفاق في القلب كما ينبت الماء البقل -وروي عنه مرفوعا- وهذا يدل على أنهم فهموا أن الغناء الذي رخص فيه النبي صلى الله عليه وسلم لأصحابه لم يكن هذا الغناء، ولا آلاته هي هذه الآلات، وأنه إنما رخص فيما كان في عهده، مما يتعارفه العرب بآلاتهم، فأما غناء الأعاجم بآلاتهم فلم تتناوله الرخصة، وإن سمي غناءً وسميت آلاته دفوفا، لكن بينهما من التباين ما لا يخفى على عاقل، فإن غناء الأعاجم بآلاتها يثير الهوى، ويغير الطباع، ويدعو إلى المعاصي، فهو رقية الزنا، وغناء الأعراب المرخص به ليس فيه شيء من هذه المفاسد بالكلية البتة؛ فلا يدخل غناء الأعاجم في الرخصة لفظا ولا معنى،

Maka tatkala itu para sahabatpun mengingkari nyanyian dan mendengarkannya, mereka melarangnya dengan keras. Sampai-sampai Ibnu Mas'ud berkata : "Nyanyian menumbuhkan kemunafikan di hati sebagaimana air menumbuhkan tumbuhan/sayuran". Dan diriwayatkan dari beliau secara marfu'. Hal ini menunjukkan bahwasanya mereka faham bahwa nyanyian yang dibolehkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabatnya bukanlah nyanyian yang seperti ini, dan bukanlah alat-alatnya seperti alat-alat ini !!, dan Nabi hanyalah memberi keringanan (membolehkan) pada perkara-perkara dan alat-alat yang ada di zaman beliau yang dikenal oleh orang-orang Arab. Adapun nyanyiannya orang-orang 'ajam disertai alat-alat yang seperti alat-alat tersebut  -meskipun dinamakan nyanyian, alat-alatnya dinamakan rebana- akan tetapi antara nyanyian dan rebana zaman Nabi tentu sangat berbeda dengan nyanyian dan rebana orang ajam, yang perbedaan ini tidaklah samar bagi orang yang berakal. Sesungguhnya nyanyian orang-orang ajam yang disertai alat-alat musiknya mengorbankan hawa nafsu dan merubah tabi'at serta menyeru kepada kemaksiatan-kemaksiatan. Nyanyian tersebut adalah ruqyahnya zina.

Adapun  nyanyian orang-orang Arab yang diperbolehkan sama sekali tidak ada kerusakan-kerusakan seperti ini, maka nyanyian orang-orang ajam tidaklah termasuk nyanyian yang diperbolehkan baik secara lafal maupun makna/hakekatnya.

فإنه ليس هنالك نص عن الشارع بإباحة ما يسمى غناء ولا دفا، وإنما هي قضايا أعيان وقع الإقرار عليها، وليس لها من عموم. وليس الغناء والدف المرخص فيهما في معنى ما في غناء الأعاجم ودفوفها المصلصلة، لأن غناءهم ودفوفهم تحرك الطباع وتهيجها إلى المحرمات، بخلاف غناء الأعراب؛ فمن قاس أحدهما على الآخر فقد أخطأ أقبح الخطأ، وقاس مع ظهور الفرق بين الفرع والأصل، فقياسه من أفسد القياس وأبعده عن الصواب. وقد صحت الأخبار عن النبي صلى الله عليه وسلم بذم من يستمع القينات في آخر الزمان، وهو إشارة إلى تحريم سماع آلات الملاهي الماخوذة عن الأعاجم

Karena sesungguhnya tidak ada dalil-dalil nas dari syari'at yang membolehkan sesuatu yang dinamakan nyanyian/lagu dan rebana. Yang ada yaitu kejadian-kejadian khusus lalu didiamkan (dibiarkan dan tidak dilarang), maka tidak ada keumumannya. Dan bukanlah nyanyian dan rebana yang diperbolehkan hekekatnya sama dengan nyanyian orang-orang 'ajam dan rebana-rebana mereka yang diberi lonceng-lonceng kecil, karena nyanyian dan rebana-rebana mereka menggerakan hati dan mengobarkannya untuk melakukan hal-hal yang haram, lain halnya dengan nyanyian-nyanyian orang-orang Arab. Barang siapa yang mengqiaskan salah satunya kepada yang lain maka ia telah salah besar, dan ia telah mengqiaskan padahal telah nampak jelas perbedaan antara cabang dan ashal. Maka qiyasnya adalah qiyas yang paling rusak dan sangat jauh dari kebenaran. Telah shahih riwayat-riwayat dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang tercelanya orang yang mendengarkan para budak (yang bernyanyi) di akhir zaman, dan ini merupakan isyarat akan pengharaman mendengarkan alat-alat musik yang diambil dari orang-orang 'ajam" (Fathul Baari 6/77-79)

Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 04-07-1434 H / 14 Mei 2013 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com

MEMANJANGKAN JENGGOT : AJARAN-AJARAN MADZHAB SYAFI'I YANG DITINGGALKAN OLEH SEBAGIAN PENGIKUTNYA



Berikut ini beberapa ajaran madzhab syafi'iyah yang ditinggalkan (tidak dikerjakan) oleh sebagian penganutnya, padahal begitu getolnya mereka mengaku-ngaku sebagai pengkut madzhab syafi'iyah yang setia !!!


PERTAMA : MEMANJANGKAN JENGGOT

Merupakan perkara yang aneh adalah semangatnya sebagian ustadz dan kiyai (yang mengaku bermadzhab  syafi'iyah) untuk memangkas habis jenggot mereka…, bahkan sebagian mereka mencela orang yang memanjangkan jenggotnya, atau mengecapnya sebagai teroris. Padahal Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah mengharamkan mencukur habis jenggot.

Banyak sekali hadits yang menunjukkan wajibnya memelihara jenggot, diantaranya:
1. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ، وَفِّرُوا اللِّحَى، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ! (رواه البخاري: 5892)ـ

Dari Ibnu Umar r.a., Rosul -shollallohu alaihi wasallam- pernah bersabda: Selisihilah kaum musyrikin, biarkanlah jenggot kalian panjang, dan potong tipislah kumis kalian! (HR. Bukhori: 5892)

2. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda:

انْهَكُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى! (رواه البخاري: 5893)ـ

Dari Ibnu Umar r.a., Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: Potong tipislah kumis kalian, dan  biarkanlah jenggot kalian! (HR. Bukhori: 5893)

3. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda:

خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ، أَحْفُوا الشَّوَارِبَ، وَأَوْفُوا اللِّحَى! (رواه مسلم: 259)ـ

Dari Ibnu Umar, Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Selisilah Kaum Musyrikin, potong pendeklah kumis kalian, dan sempurnakanlah jenggot kalian!”. (HR. Muslim: 259)

4. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda:

جُزُّوا الشَّوَارِبَ، وَأَرْخُوا اللِّحَى، خَالِفُوا الْمَجُوسَ! (رواه مسلم: 260)ـ

Dari Abu Huroiroh r.a., Nabi -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: Potonglah kumis kalian, biarkanlah jenggot kalian, dan selisihilah Kaum Majusi. (HR. Muslim: 260)

5. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda:

جُزُّوا الشَّوَارِبَ، وَأَرْجوا (أو وأرجئوا) اللِّحَى، خَالِفُوا الْمَجُوسَ. (رواه مسلم: 260, مع الرجوع إلى شرح صحيح مسلم للنووي, وفتح الباري شرح حديث رقم: 5892)ـ

Dari Abu Huroiroh r.a., Nabi -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: Potonglah kumis kalian, panjangkanlah jenggot kalian, dan selisihilah Kaum Majusi. (HR. Muslim: 260, lihat juga Syarah Shohih Muslim karya Imam Nawawi, dan Fathul Bari Syarah Shohih Bukhori karya Ibnu Hajar hadits no: 5892)

6. Hadits Nabi -shollallohu alaihi wasallam-:

عن أبي أمامة قَالَ: …فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ يَقُصُّونَ عَثَانِينَهُمْ وَيُوَفِّرُونَ سِبَالَهُمْ قَالَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُصُّوا سِبَالَكُمْ وَوَفِّرُوا عَثَانِينَكُمْ وَخَالِفُوا أَهْلَ الْكِتَابِ (رواه أحمد: 21780)ـ

Dari Abu Umamah: …lalu kami (para sahabat) pun menanyakan: “Wahai Rosululloh, sungguh kaum ahli kitab itu (biasa) memangkas jenggot mereka dan memanjangkan kumis mereka?”. Maka Nabi -shollallohu alaihi wasallam- menjawab: “Potonglah kumis kalian, dan biarkanlah jenggot kalian panjang, serta selisilah Kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani)!”. (HR. Ahmad: 21780, dihasankan oleh Albani, dan dishohihkan oleh Muhaqqiq Musnad Ahmad, lihat Musnad Ahmad 36/613)

7. Hadits dari Abdulloh bin Umar r.a.:

عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما: أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بإحفاء الشوارب, وإعفاء اللحى (رواه مسلم: 259)ـ

Ibnu Umar r.a. mengatakan: “Sesungguhnya Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- memerintahkan untuk memangkas tipis kumis dan membiarkan jenggot panjang. (HR. Muslim: 259).

8. Pernyataan Sahabat Jabir bin Abdulloh r.a.:

كنا نؤمر أن نوفي السبال ونأخذ من الشوارب (مصنف ابن أبي شيبة 5/25504). وفي لفظ: كنا نعفي السبال, ونأخذ من الشوارب (أخرجه أبو داود: 4201). وحسنه الحافظ ابن حجر في فتح الباري 13/410, وصححه الشيخ عبد الوهاب الزيد في كتابه إقامة الحجة في تارك المحجة ص 36 و 79)ـ

Jabir r.a. mengatakan: “Sungguh kami (para sahabat), diperintah untuk memanjangkan jenggot dan mencukur kumis”. (Mushonnaf  Ibnu Abi Syaibah: 26016). Dalam riwayat lain dengan redaksi: “Kami (para sahabat) membiarkan jenggot kami panjang, dan mencukur kumis” (HR. Abu Dawud: 4201). Atsar ini dihasankan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 13/410, dan di shohihkan oleh Syeikh Abdul Wahhab alu Zaid dalam kitabnya Iqomatul Hujjah fi Tarikil Mahajjah, hal: 36 dan 79)



Dari sabda-sabda di atas, kita dapat mengambil kesimpulan berikut:

1. Sabda-sabda di atas, semuanya menunjukkan perintah untuk memanjangkan jenggot, dan sebagaimana kita tahu kaidah ushul fikih, “setiap perintah dalam nash-nash syariat itu menunjukkan suatu kewajiban, dan haram bagi kita menyelisihinya, kecuali ada dalil khusus yang merubahnya menjadi tidak wajib”. Itu berarti wajib bagi kita memanjangkan jenggot, dan haram bagi kita memangkasnya.

2. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- menghubungkan perintah memanjangkan jenggot, dengan perintah menyelisihi Kaum Ahli Kitab (Yahudi Nasrani), Kaum Musyrikin, dan Kaum Majusi. Itu menambah kuatnya hukum wajibnya memanjangkan jenggot ini, mengapa?… Karena dua perintah, jika berkumpul dalam satu perbuatan yang sama, itu lebih kuat dari hanya satu perintah saja.

3. Pada sabda-sabda di atas, terkumpul 5 redaksi perintah yang berbeda (perhatikan kalimat arab yang kami cetak merah, dari hadits 1-5), yang semuanya menunjukkan perintah memanjangkan jenggot… Ini juga meneguhkan petunjuk wajibnya memanjangkan jenggot… Karena perintah dengan lima redaksi yang berbeda-beda lebih meyakinkan, dari pada hanya menggunakan satu redaksi saja.

4. Para Sahabat Nabi, semuanya memanjangkan jenggotnya, karena mereka diperintah oleh Rosul -shollallohu alaihi wasallam- untuk melakukan itu. Jika perintah itu tidak wajib dilakukan, mengapa tidak ada satu pun sahabat yang menggundul jenggotnya?!. (lihat hadits no: 8)

5. Memanjangkan jenggot adalah ibadah yang diperintahkan oleh Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, oleh karena itulah para sahabat bersemangat menerapkannya dalam kehidupan mereka, bahkan tidak satupun dari mereka menyelisihi perintah ini… Coba perhatikan masyarakat sekitar kita di era ini, kenyataannya sangat bertolak belakang,  para sahabat dahulu semuanya memelihara jenggot, tapi di lingkungan kita tidak ada yang memelihara jenggot kecuali hanya sedikit saja… Semoga Alloh merubah keadaan umat ini, pada keadaan yang lebih baik, dan lebih dekat kepada ajaran islam yang mulia dan suci, sehingga umat ini dapat menggapai kejayaan yang mereka impikan… amin.

Terlebih lagi sebagian ulama menukil tentang ijmak akan dilarangnya mencukur jenggot.

(1) Ibnu Hazm azh-Zhohiri -rohimahulloh-:

اتفقوا على أن حلق اللحية مثلة لا يجوز

Para ulama telah sepakat, bahwa sesungguhnya menggundul jenggot termasuk tindakan mutslah, itu tidak diperbolehkan. (Marotibul Ijma’ 157)

(2) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rohimahulloh-:

يحرم حلق اللحية للأحاديث الصحيحة ولم يبحه أحد

Menggundul jenggot itu diharamkan, karena adanya hadits-hadits shohih (tentang itu), dan tidak ada seorang pun yang membolehkannya. (Ushulul Ahkam 1/37, Ikhtiyarot Syaikhil Islam Ibni Taimiyah 19)

(3) Al-Ala’i -rohimahulloh-:

إن الأخذ من اللحية دون القبضة كما يفعله بعض المغاربة ومخنثة الرجال لم يبحه أحد, وأخذ كلها من فعل يهود الهند ومجوس الأعاجم.

Sesungguhnya memangkas sebagian jenggot (hingga) lebih pendek dari genggaman tangan, sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang maroko dan para banci itu tidak ada seorang pun yang membolehkannya. Sedangkan memangkas semuanya (hingga habis), itu termasuk tindakan orang-orang Yahudi Hindia dan orang-orang Majusi A’jam. (al-Uqudud Durriyah 1/329) (Roddul Muhtar 3/398) (Fathul Qodir 2/352)

(4) Abul Hasan al-Qoththon al-Maliki -rohimahulloh-:

واتفقوا على أن حلق اللحية مثلة لا تجوز

Para ulama sepakat bahwa sesungguhnya menggundul jenggot, termasuk tindakan mutslah yang tidak diperbolehkan. (al-Iqna’ fi Masailil Ijma’ 2/3953)



Para pembaca yang dirahmati Alloh…

Sebenarnya sudah cukup, bagi insan muslim yang inshof, untuk menerima kesimpulan wajibnya memanjangkan jenggot ini, dengan berdasar pada dalil Al-Quran, Hadits, dan Ijma’ yang kami sebutkan. (Tulisan diatas seluruhnya diambil dari tulisan sahabat kami al-Ustadz Musyaffa' MA sebagaimana bisa dilihat di http://addariny.wordpress.com/2010/01/12/jenggot-haruskah-2/)

Akan tetapi sebagian orang sulit kalau hanya sekedar diberi dalil, dan hanya bisa menerima dengan puas jika disertai dengan perkataan para ulama dari madzhab yang diikutinya. Karenanya berikut ini penulis sebutkan madzhab syafi'iyah tentang hukum mencukur jenggot.

Imam Asy-Syafi’i -rohimahulloh- mengatakan:

ولا يأخذ من شعر رأسه ولا لحيته شيئا لان ذلك إنما يؤخذ زينة أو نسكا

 “Ia (orang yang memandikan mayat) tidak boleh memangkas rambut kepala maupun jenggotnya si mayat, karena kedua rambut itu hanya boleh diambil untuk menghias diri dan ketika ibadah manasik saja”. (al-Umm 2/640)

Imam Syafi’i -rohimahulloh- juga mengatakan :

والحِلاق ليس بجناية لان فيه نسكا في الرأس وليس فيه كثير ألم، وهو -وإن كان في اللحية لا يجوز- فليس كثير ألم ولا ذهاب شعر، لانه يستخلف، ولو استخلف الشعر ناقصا أو لم يستخلف كانت فيه حكومة

“Menggundul rambut bukanlah kejahatan, karena adanya ibadah dengan menggundul kepala, juga karena tidak adanya rasa sakit yang berlebihan padanya. Tindakan menggundul itu, meski tidak diperbolehkan pada jenggot, namun tidak ada rasa sakit yang berlebihan padanya, juga tidak menyebabkan hilangnya rambut, karena ia tetap akan tumbuh lagi. Seandainya setelah digundul, ternyata rambut yang tumbuh kurang, atau tidak tumbuh lagi, maka ada hukumah (semacam denda/sangsi, silahkan lihat makan al-hukuumah di Al-Haawi al-Kabiir 12/301)". (al-Umm 7/203)

Para ulama syafi'iyah telah memahami bahwa perkataan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah menunjukkan bahwa beliau mengharamkan menggunduli janggut. Diantara para ulama tersebut adalah :

(1) Ibnu Rif'ah :

قال ابن رفعة: إِنَّ الشَّافِعِي قد نص في الأم على تحريم حلق اللحية

Ibnu Rif’ah -rohimahulloh- mengatakan: Sungguh Imam Syafi’i telah menegaskan dalam kitabnya Al-Umm, tentang haramnya menggundul jenggot. (Hasyiatul Abbadi ala Tuhfatil Muhtaj 9/376)

(2) Abdurrahman bin 'Umar Baa 'Alawi; ia berkata :        

 نص الشافعي رضي الله عنه على تحريم حلق اللحية ونتفها

"Imam Asy-Syafii radhiallahu 'anhu telah menyatakan akan haramnya mencukur gundul jenggot dan mencabuti jenggot" (Bugyatul Mustarsyidin hal 20, cetakan Daarul Fikir)

Sebagian ulama syafi'iyah juga memandang haramnya menggunduli jenggot, diantara mereka adalah :

(1) Al-Halimi (wafat 403 H), beliau berkata dalam kitab beliau Al-Minhaaj Fi Syu'abil Iimaan:

لا يحل لأحد أن يحلق لحيته ولا حاجبيه, وإن كان له أن يحلق سباله, لأن لحلقه فائدة, وهي أن لا يعلق به من دسم الطعام ورائحته ما يكره, بخلاف حلق اللحية, فإنه هجنة وشهرة وتشبه بالنساء, فهو كجب الذكر

"Tidak seorang pun dibolehkan memangkas habis jenggotnya, juga alisnya, meski ia boleh memangkas habis kumisnya. Karena memangkas habis kumis ada faedahnya, yakni agar lemak makanan dan bau tidak enaknya tidak tertinggal padanya. Berbeda dengan memangkas habis jenggot, karena itu termasuk tindakan hujnah, syuhroh, dan menyerupai wanita, maka ia seperti menghilangkan kemaluan" (Sebagaimana dinukil dalam kitab al-I’lam fi fawaaid Umdatil Ahkaam, karya Ibnul Mulaqqin (wafat 804 H), terbitan Daarul 'Aaashimah)

(2) Abul Hasan Al-Maawardi (wafat 450 H), ia berkata :

نَتْفُ اللِّحْيَةِ مِنَ السَّفَهِ الذي تُرَدُّ به الشهادة

Imam al-Mawardi -rohimahulloh- mengatakan: Mencabuti jenggot merupakan perbuatan safah (bodoh) yang menyebabkan persaksian seseorang ditolak. (al-Hawil Kabir 17/151)

Meskipun dalam perkataan Al-Maawardi ini tidak ada nas tegas dalam pengharaman akan tetapi cukup menunjukkan akan buruknya orang yang menggundul jenggotnya karena bisa mengakibatkan 'adalahnya gugur sehingga persaksiannya tertolak.

(3) Abu Hamid Al-Gozzali rahimahullah (wafat tahun 505 H0, beliau berkata :

وأما نتفها في أول النبات تشبها بالمرد فمن المنكرات الكبار فإن اللحية زينة الرجال

"Adapun mencabuti jenggot di awal munculnya, agar menyerupai orang yang tidak punya jenggot, maka ini termasuk kemungkaran yang besar, karena jenggot adalah penghias bagi laki-laki" (Ihya’ Ulumiddin 1/280)

Akan tetapi al-Gozali memberi keringanan jika jenggot yang panjangnya lebih dari satu genggam boleh untuk dipotong, dengan syarat tidak sampai mencukur gundul jenggot tersebut. Beliau rahimahullah berkata :

والأمر في هذا قريب إن لم ينته إلى تقصيص اللحية

"Perkaranya dalam masalah ini adalah mendekati, jika tidak sampai mencukur habis jenggot" (Ihyaa Uluumiddin 1/277)

(4) Ahmad Zainuddin Al-Malibaari Al-Fannaani (wafat tahun 1310 H), ia berkata :

وَيَحْرُمُ حلقُ لِحْيَةٍ

"Dan diharamkan menggungul jenggot"

(Fathul Mu'iin Bi Syarh Qurrotil 'Ain Bi Muhimmaatid diin, hal 305, terbitan Daar Ibnu Hazm)

          Tentunya tidak dipungkiri bahwa sebagian ulama madzhab Syafi'iyah memandang mencukur habis jenggot hanyalah makruh dan tidak haram. Akan tetapi meskipun makruh namun ia merupakan perkara yang dibenci dan hendaknya ditinggalkan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

والصحيح كراهة الاخذ منها مطلقا بل يتركها على حالها كيف كانت، للحديث الصحيح واعفوا اللحي. وأما الحديث عمرو بن شعيب عن ابيه عن جده “ان النبي صلي الله عليه وسلم كان يأخذ من لحيته من عرضها وطولها” فرواه الترمذي باسناد ضعيف لا يحتج به

"Yang benar adalah dibencinya perbuatan memangkas jenggot secara mutlak (meskipun jenggot telah panjang dan lebih dari segenggam tangan-pen), tapi harusnya ia membiarkan apa adanya, karena adanya hadits shohih “biarkanlah jenggot panjang“. Adapun haditsnya Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya: “bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- dahulu mengambil jenggotnya dari sisi samping dan dari sisi panjangnya”, maka hadits ini telah diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan sanad yang lemah dan  tidak bisa dijadikan hujjah. (al-Majmu’ 1/343)

Imam An-Nawawi juga berkata :

والمختار ترك اللحية على حالها وألا يتعرض لها بتقصير شيء أصلا

"Pendapat yang terpilih adalah membiarkan jenggot apa adanya, dan tidak memendekkannya sama sekali" (Al-Minhaaj Syarah Shohih Muslim, 3/151, hadits no: 260)

Abu Syaamah rahimahullah berkata :

وقد حدث قوم يحلقون لحاهم, وهو أشد مما نقل عن المجوس أنهم كانوا يقصونها

"Telah datang sekelompok kaum yang menggunduli jenggotnya, perbuatan mereka itu lebih parah dari apa yang dinukil dari kaum Majusi, bahwa mereka dulu memendekkannya". (Fathul Bari 10/351)



          Maka sungguh aneh jika yang terjerumus dalam kemakruhan (perkara yang dibenci Allah) malah mengejek mereka yang menjalankan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika enggan untuk memelihara jenggot maka minimal jangan menghina yang berjenggot, apalagi mengidentikkan dengan teroris !!!. Meskipun benar sebagian teroris berjenggot, akan tetapi apakah lantas semua yang berjenggot dijuluki teroris ??!! Bukankah mereka para teroris juga adalah orang-orang yang rajin membaca al-Qur'an dan sholat berjama'ah?. Maka apakah kalau ada orang yang rajin membaca Al-Qur'an dan sholat berjama'ah diejek juga dengan terrorist??

Syeikh Albani -rohimahulloh- berkata:

ومحمد عليه الصلاة والسلام كان له لحية عظيمة, وكذلك الصحابة, وكذلك السلف الصالح, وكذلك الأئمة, لم يوجد فيهم من حلق لحيته في حياته مرة واحدة

(Nabi) Muhammad -alaihish sholatu was salam-, dahulu (di masa hidupnya) memiliki jenggot yang lebat, begitu pula para sahabat beliau, para salafus sholih, dan para imam. Tidak ada satu pun dari mereka yang mencukur jenggotnya, meski hanya sekali semasa hidupnya. (Al-Lihyah fil kitab was sunnah wa aqwali salafil ummah, karya Muhammad Hasunah, hal 58).

Kalau dahulu para ulama yang tidak berjenggot berangan-angan untuk jenggotan, akan tetapi sebaliknya sebagian kiyai dan ustadz zaman sekarang justru berangan-angan tidak berjenggot, sehingga selalu mencukur habis jenggot mereka.

Abu Haamid Al-Gozzali rahimahullah berkata :

وقال شريح القاضي : وَدِدْتُ أَنَّ لِي لَحْيَةً وَلَوْ بَعَشْرَةِ آلاَفٍ

"Syuraih Al-Qoodhli berkata : "Aku berharap kalau aku memiliki jenggot, meskipun harus membayar 10 ribu dinar/dirham" (Ihyaa 'Uluum ad-Diin 2/257)

Al-Gozali juga berkata :

قال أصحاب الأحنف بن قيس وددنا أن نشتري للأحنف لحية ولو بعشرين ألفا

"Para sahabat Al-Ahnaf bin Qois berkata, "Kami berangan-angan untuk membelikan jenggot buat Al-Ahnaf meskipun harus membayar 20 ribu dinar/dirham"

Kenapa bisa demikian??, Al-Gozali berkata :

فإن اللحية زينة الرجال ...وبها يتميز الرجال عن النساء

"Sesungguhnya jenggot adalah perhiasan para lelaki…dengannya terbedakan antara para lelaki dan para wanita" (Ihyaa 'Uluum ad-Diin 2/257)

Yang lebih lucu lagi jika ada orang yahudi dan nashrani mencibir orang Islam yang berjenggot…bahkan dikatakan seperti kambing ??!!, apakah mereka lupa bahwa Nabi Musa 'alaihis salaam dan juga Nabi Isa –yang dianggap tuhan oleh mereka- juga berjenggot??



Karenanya sungguh lucu jika ada seseorang yang menolak hukum wajibnya memelihara jenggot dengan alasan kalau hukumnya wajib maka hal ini adalah ketidak adilan, karena terlalu banyak orang Indonesia yang tidak tumbuh jenggotnya. Sebagaimana yang disampaikan sebagian orang : ((Selain menggunakan logika perbedaan ’illat, mereka tidak mewajibkan atau menyunnahkan memelihara jenggot karena masalah ketidak-adilan.

Kalau memelihara jenggot dianggap sebagai ibadah, entah hukumnya wajib atau sunnah, maka betapa agama Islam ini sangat tidak adil. Sebab hanya mereka yang ditakdirkan punya bakat berjenggot saja yang bisa mengamalkannya.

Hal itu mengingat keberadaan jenggot amat berbeda dengan rambut pada kepala manusia, dimana setiap bayi yang lahir, sudah dipastikan di kepalanya tumbuh rambut. Demikian juga dengan kuku, setiap manusia tentu punya kuku yang terus tumbuh sejak lahir hingga mati.

Namun tidak demikian halnya dengan jenggot. Ada berjuta-juta manusia di dunia ini yang secara sunnatullah memang tidak tumbuh jenggotnya. Dan hal itu terjadi sejak dari lahir sampai tua dan mati. Allah SWT mentaqdirkan memang tidak ada satu pun jenggot tumbuh di dagu mereka.

Maka kalau berjenggot panjang itu diwajibkan atau sunnahkan, apakah mereka yang ditakdirkan punya wajah tidak tumbuh jenggot lantas menjadi berdosa atau tidak bisa mendapatkan pahala? Dan apakah ukuran ketaqwaan seseorang bisa diukur dengan keberadaan jenggot?

Kalau memang demikian ketentuanya, maka betapa tidak adilnya syariat Islam, karena hanya memberi kesempatan bertaqarrub kepada orang-orang tertentu saja dengan menutup kesempatan buat sebagian orang.

Memang buat bangsa-bangsa tertentu, seperti bangsa Arab, semua laki-laki mereka lahir dengan potensi berjenggot, bahkan sejak dari masih belia, sudah ada tanda-tanda akan berjenggot. Namun buat ras manusia jenis tertentu, seperti umumnya masyarakat Indonesia, tidak semua orang punya bakat berjenggot, bahkan meski sudah diberi berbagai obat penumbuh dan penyubur jenggot, tetap saja sang jenggot idaman tidak tumbuh-tumbuh juga.

Betapa malangnya orang-orang Indonesia, yang lahir tanpa potensi untuk memiliki jenggot. Lantas apakah dosa mereka sehingga ’dihukum’ Allah sehingga tidak bisa berjenggot?)) (lihat : http://www.rumahfiqih.com/m/x.php?id=1365327813)

Tentu perkaranya adalah mudah, jika seseorang janggutnya tidak bisa tumbuh ya jelas tidak berdosa… Allah tidak membebani diluar kemampuan seorang hamba. Seluruh perintah Allah berkaitan dengan kemampuan seorang hamba. Hal ini merupakan perkara yang sangat mendasar diketahui oleh para penuntut ilmu. Dalam sholat berdiri adalah hukumnya wajib, akan tetapi jika seseorang cacat tidak mampu untuk berdiri, maka tidak diwajibkan baginya untuk sholat berdiri, dan jangan lantas kita menuduh syari'at tidak adil, karena mewajibkan apa yang tidak bisa dilakukan oleh orang cacat tersebut.

Demikian juga haji, hanya wajib bagi yang mampu, maka yang tidak mampu sama sekali tidak tercela…padahal mayoritas kaum muslimin di dunia tidak mampu. Maka jangan lantas kita menuduh syari'at tidak adil??. Yang tercela adalah yang telah memiliki kemampuan lantas tidak melaksanakan ibadah haji…sebagaimana seseorang yang telah diberi anugrah oleh Allah tumbuh jenggotnya lantas iapun mencukur habis gundul jenggot tersebut !!!. Di zaman para ulama juga ada orang-orang yang tidak tumbuh jenggotnya atau sangat sedikit jenggotnya, akan tetapi tidak seorangpun dari mereka yang menolak hukum sunnahnya jenggot hanya karena alasan ketidak adilan syari'at??? Saya jadi penasaran ulama madzhab manakah yang menyatakan demikian??!, mohon infonya dari ustadz Ahmad Sarawat.

Dalih "ketidak adilan syari'at" ini melazimkan bahwa memelihara jenggot sama sekali tidak disunnahkan, karena akan ada jutaan muslim yang tidak bisa menjalankan sunnah. Lantas bagaimana dengan sabda Nabi

عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللَّحْيَةِ...

"10 perkara termasuk fitrah, mencukur kumis dan membiarkan (tumbuhnya) jenggot…" (HR Muslim no 261)

Apakah hadits Nabi ini tidak ada artinya sama sekali…?? Ataukah hadits Nabi ini hanya berlaku kepada orang-orang Arab dan orang-orang yang berjanggut??, apakah Allah tidak memberi tahu Nabi bahwasanya akan ada kaum muslimin yang tidak bisa tumbuh jenggotnya??

Dan pada hadits ini juga ada bantahan terhadap mereka yang berpendapat bahwa disyari'atkannya memanjangkan jenggot berkaitan dengan adat, yang hukumnya bisa berubah dengan perubahan zaman dan perubahan adat istiadat. Hal ini karena membiarkan jenggot tumbuh dan tidak dicukur merupakan fitroh yang tidak mungkin berubah hukumnya. Allah berfirman

فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ

"tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (QS Ar-Ruum : 30)

Maksud kata fitrah dalam hadits di atas, sebagaimana dikemukakan oleh para penyarah hadits, adalah: “Sunnah (tuntunan) yang dipilih oleh para Nabi terdahulu, yang seluruh ajaran langit sepakat dengannya, karena ia memang sesuai dengan tabiat asal manusia”. Anda bisa merujuk keterangan ini di kitab (an-Nihayah fi Ghoribil Hadits, karya Ibnul Atsir, hal: 710), (Fathul Bari Syarah Shohih Bukhori, hadits no: 5889), (al-Majmu’ syarhul Muhadzdzab, karya Imam Nawawi 1/338 ), (Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan Tirmidzi, hadits no: 2756).

Intinya, karena yang dimaksud dengan kata fitrah adalah ajaran seluruh Nabi yang sesuai dengan tabiat asal manusia, maka ia ada yang wajib, ada juga yang sunat… Bukankah khitan hukumnya wajib, meski beliau memasukkannya dalam fitrah sebagaimana hadits berikut?!

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْفِطْرَةُ خَمْسٌ أَوْ خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ: الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَقَصُّ الشَّارِبِ  (متفق عليه)ـ

Dari Abu Huroiroh r.a., bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Fitroh itu lima”, atau dengan redaksi “Lima diantara fitroh“: khitan, istihdad, memotong kuku, mencabut (bulu) ketiak, dan memotong kumis. (Muttafaqun Alaih)

Imam al-Mawardi yang bermadzhab syafi’i juga telah menjawab syubhat ini, beliau berkata:

وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ: عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ، فَهُوَ أَنَّ الْفِطْرَةَ الدِّينُ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا [الرُّومِ : 30] يَعْنِي دِينَهُمُ الَّذِي فَطَرَهُمْ عَلَيْهِ. وَمَا قَرَنَ بِهِ مِنْ غَيْرِ الْوَاجِبَاتِ لَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ فِي حُكْمِهَا، لِأَنَّهُ قَدْ يَقْتَرِنُ الْوَاجِبُ بِغَيْرِ وَاجِبٍ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ (الْأَنْعَامِ: 141)

Adapun jawaban dari hadits “Sepuluh hal yang termasuk fitroh“, maka (jawabannya adalah), bahwa yang dimaksud dengan kata fitroh di sini adalah agama, sebagaimana dalam firman Alloh ta’ala: “Itulah fitroh yang manusia diciptakan atasnya” (Surat ar-Rum: 30), maksudnya adalah agama yang mereka diciptakan atasnya. Adapun hal-hal tidak wajib lainnya yang disebutkan bersamanya, itu tidak menunjukkan bahwa hal itu seperti hukumnya, karena kadang sesuatu yang wajib digandengkan dengan sesuatu yang tidak wajib, sebagaimana dalam firman-Nya: “Makanlah dari buahnya saat ia berbuah, dan tunaikanlah kewajiban (zakat)-nya saat panennya”. (Surat al-An’am: 141) (lihat http://addariny.wordpress.com/2010/01/31/jenggot-haruskah-5-terakhir/)



Demikian juga bantahan terhadap perkataan sebagian orang ((Namun ketika ’urf atau tradisi orang-orang musyrik dan majusi berubah, seiring dengan berjalannya waktu dan penyebaran budaya mereka, maka mereka pun punya penampilan dan ciri fisik yang berbeda juga. Ketika banyak dari orang-orang musyrik dan majusi yang tidak lagi memanjangkan kumis dan memotong jenggot, sebagaimana yang mereka lakukan di masa hidup Rasulullah SAW, maka dalam logika mereka, hukumnya pun juga ikut berubah juga.)) (lihat  http://www.rumahfiqih.com/m/x.php?id=1365327813)

Dan kenyataan juga mendustakan… hingga saat ini jenggot identik dengan cirri khas kaum muslimin.

Jika ada yang mengatakan bahwa sebagian kaum musyrikin seperti Yahudi juga memelihara jenggot…, maka jawabannya adalah : Sejak zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kaum yahudi, dan demikian juga kaum musyrikin Arab telah berjenggot, dan tidak dikenal bahwasanya musyrikin Arab mencukur jenggot mereka !!. Akan tetapi hal ini tidak menjadikan Nabi membatalkan hukum disyari'atkannya berjenggot. Oleh karenanya Nabi tetap menysari'atkan jenggot untuk menyelisihi kaum musyrikin yang tidak berjenggot seperti majusi. Selain itu kaum yahudi yang memelihara jenggot hanyalah sebagian kecil dari mereka, itupun jenggot sebagian mereka memiliki penampilan lain, yaitu dikuncir. Sepertinya mereka ingin tampil beda dari kaum muslimin??!!.

Jika ada yang berkata, "Zaman sudah berubah kaum majusi sudah tidak lagi memanjangkan kumis dan sudah tidak lagi memotong jenggot". Jawabannya, Kapankah datang zaman tersebut??. Hingga detik ini para penyembah api atau penyembah matahari masih tidak memelihara jenggot mereka !!!. Jenggot masih dinilai sebagai ciri khas kaum muslimin… Dan jika seandainya kaum majusi sudah merubah tradisi mereka menjadi gemar memelihara jenggot maka hukum disyari'atkannya jenggot tidak akan pernah berubah karena merupakan fitroh sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits di atas lalu. Wallahu a'lam bis shawab.

Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 01-07-1434 H / 11 Mei 2013 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
Di share dari web beliau
www.firanda.com